Rakyat Dipermainkan Ditengah Kelangkaan Gas Melon


Oleh: Wulan Safariyah (Aktivis Dakwah)

Kelangkaan gas terjadi di berbagai wilayah Kaltim yang merupakan wilayah penghasil gas alam terbesar di Kalimantan. Namun, anehnya di tengah penghasil kekayaan gas terbesar warganya kesulitan mendapatkan gas melon. Misalnya dikota Tepian, kelangkaan gas elpiji 3 kg membuat DPRD Samarinda bergerak. Komisi II menggelar RDP bersama instansi terkait, mendesak agar distribusi gas bersubsidi dilakukan langsung ke tingkat RT untuk memastikan pasokan tepat sasaran.

Kelangkaan ini bermula dari kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang melarang pengecer menjual gas elpiji 3 kg mulai 1 Februari 2025. Meski Presiden Prabowo Subianto telah mencabut kebijakan tersebut, banyak warga sudah terlanjur melakukan panic buying. Belum lagi adanya dugaan oknum yang sengaja menimbun dan menjual dengan harga tak wajar untuk mendapatkan keuntungan besar yang instan. Akibatnya, harga gas melon di Samarinda melonjak hingga Rp50 ribu per tabung. (kaltimfaktual co, 6/2/2025)

Pemerintah kembali mengizinkan pengecer menjual LPG 3 kg setelah sebelumnya dilarang sejak 1 Februari 2025. Sebab, keputusan ini sebenarnya memicu berbagai reaksi dari masyarakat, terutama bagi yang terdampak oleh kebijakan sebelumnya.

Pengecer gas melon, Lisa mengaku lega dengan kebijakan baru bahwa pengecer dapat menjual LPG 3 Kg. “Kalau tidak bisa jual lagi, kami mau makan apa, kami juga bisanya diantarkan 40 tabung, itupun satu minggu sekali. Sekali jual langsung habis gak sampai sehari,” kata Lisa, Rabu (5/2/2025). (seputar fakta.com)

Lain halnya di wilayah Kabupaten Paser, meskipun terjadi kelangkaan LPG 3 kilogram pada sejumlah daerah di Kaltim, hal itu tidak berlaku untuk wilayah Kabupaten Paser. Hanya saja, masyarakat harus merogoh kocek lebih untuk mendapat LPG subsidi pemerintah itu dari yang harusnya Rp22 ribu menjadi Rp55 ribu sampai Rp60 ribu di tingkat pengecer. Rupanya tidak terjadinya kelangkaan di Paser, disebabkan pengecer mendapat pasokan dari wilayah Penajam Paser Utara (PPU) dan Kalimantan Selatan (Kalsel). (Kaltim.tribunnews.com)


Kebijakan di Sistem Kapitalisme 

Kelangkaan gas melon yang terjadi, telah menimbulkan dampak serius bagi masyarakat, terutama rakyat kecil yang bergantung pada gas melon atau gas subsidi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Kelangkaan gas melon dan mahalnya harga gas saat ini membuat emak-emak pun rela antri hujan-hujanan hanya untuk mendapatkan gas tersebut, agar dapur bisa ngepul. Artinya langka dan mahalnya harga gas yang terus berulang terjadi, telah menunjukkan bahwa pemerintah gagal memenuhi kebutuhan dasar yang menjadi hak warganya.

Terkait kebijakan perubahan sistem distribusi LPG yang mewajibkan pengecer beralih menjadi pangkalan resmi agar bisa mendapatkan stok gas melon untuk dijual. Kebijakan ini dari salah satu kementerian, meski dibatalkan karena memicu kekisruhan, kejahatan bahkan korban. Namun, tidak menjamin kisruh gas melon ke depannya tidak berpotensi terjadi lagi. Karna subsidi gas melon terus dikurangi karena dianggap membebani APBN. 

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi kelangkaan gas. Namun sejatinya kelangkaan terjadi akibat kebijakan pemerintah sendiri yang membagi kelas subsidi dan non subsidi. Padahal gas adalah kebutuhan masyarakat yang seharusnya dipenuhi oleh negara tanpa melihat status. Penguasa seakan jadi populis otorutarianism, jadi pahlawan setelah membatalkan kebijakan dzalim. Kebijakan ini sarat dengan nuansa pencitraan demi mendapatkan simpati rakyat. 

Sistem kapitalisme juga meniscayakan adanya liberalisasi (migas) dengan memberi jalan bagi korporasi milik para kapitalis mengelola SDA yang sejatinya milik rakyat. Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan bahwa hanya sekitar 20% dari produksi migas nasional yang dikuasai Pertamina. Sisanya (80%) dikuasai kontraktor-kontraktor migas asing seperti Chevron, British Petroleum (BP), ExxonMobil, dan lain-lain. Akibatnya, rakyat tidak bisa menikmati kekayaan alam berupa migas dan harus membeli dengan harga mahal. Padahal negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan migas ini pada perorangan/perusahaan.

Tak heran kelangkaan terus terjadi di berbagai wilayah Indonesia termasuk Kaltim tentu ironi sebagai penghasil migas. Muara Badak, Bontang, dan Balikpapan adalah kota/kabupaten penghasil gas yang jumlahnya besar.  

Demikianlah, kesengsaraan yang terjadi jika sistem kapitalisme menghilangkan peran negara (dalam hal ini pemerintah ) sebagai ro'in (pengurus rakyat). Sebaliknya negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator bukan penanggung jawab dan pengurus rakyat. Sedangkan, pengurusan berbagai hajat publik diserahkan kepada korporasi. Wajar jika rakyat akan terus dipermainkan dan sengsara dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat.


Dalam Islam

Dalam Islam ketika ada keluhan masyarakat maka akan segera ditindaklanjuti oleh penguasa. Apabila ada pelanggaran dalam perkara mazholim seperti kebijakan dzalim, maka Qadhi madzalim akan segera menindaknya dengan memproses dan mengadili perkara tersebut.

Islam menetapkan migas termasuk dalam kepemilikan umum dan mewajibkan negara untuk mengelola sumber daya tersebut demi kepentingan rakyat, sesuai dengan fungsi negara sebagai raa’in. Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah dalam Sistem Keuangan Negara Khilafah (Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah) halaman 83 menjelaskan bahwa segala sarana umum untuk seluruh kaum muslim yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari yang jika tidak ada akan menyebabkan perpecahan, terkategori milik umum.

Ini berdasarkan sabda Rasulullah saw. “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Majah). Air, padang rumput, dan api merupakan hal-hal yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan sehari-hari dan jika hilang, manusia akan terpecah untuk mencarinya.
Maka, berdasarkan hal ini migas termasuk gas LPG masuk kriteria milik umum karena dibutuhkan masyarakat untuk keperluan sehari-hari seperti memasak dan bahan bakar untuk mesin dan transportasi jika tak ada masyarakat akan kesulitan mencarinya, seperti kondisi saat ini ketika gas melon langka.

Adapun berdasarkan hadist, sumber migas yaitu tambang migas, adalah milik umum, “Sesungguhnya Abyadh bin Hamal al-Mazaniy bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah. Beliau memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, berkata salah seorang laki-laki yang ada di dalam majelis, ‘Apakah Anda mengetahui apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah Anda berikan itu laksana (memberikan) air yang mengalir’. Akhirnya beliau bersabda, ‘(Kalau begitu) tarik kembali darinya.'” (HR Tirmidzi).

Berdasarkan hadis ini, tambang yang jumlahnya besar (seperti air yang mengalir) termasuk milik umum. Maka, negara tidak boleh memberikan izin kepada perorangan atau perusahaan untuk memilikinya dan mengelolanya. Negara wajib mengelola barang tambang tersebut, kemudian hasilnya digunakan untuk memelihara urusan-urusan kaum muslim. Hal ini sesuai dengan fungsi negara sebagai raa’in (pengurus urusan rakyat).

Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Setiap dari kalian adalah raa’in (pemimpin/pengurus) dan tiap tiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Imam Bukhari).

Negara dalam Islam memudahkan rakyat mengakses berbagai kebutuhannya akan layanan publik, fasilitas umum dan sumber daya alam yang merupakan hajat publik, termasuk migas. Bukan malah menyulitkan warganya. Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah dalam Sistem Keuangan Negara Khilafah (Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah) halaman 95 menjelaskan bahwa hasil pengelolaan harta milik umum (termasuk tambang migas) dibagikan kepada rakyat yang memang merupakan pemilik harta milik umum beserta pendapatannya.

Negara memberikan secara gratis atau boleh menjual harta milik umum ini kepada rakyat dengan harga yang semurah-murahnya atau dengan harga pasar. Semua tindakan ini dilakukan oleh negara dalam rangka mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan bagi seluruh rakyat.

Dalam pendistribusian gas LPG, negara akan memastikan produksi dan jalur distribusinya sehingga kebutuhan rakyat terpenuhi secara cukup dan tidak ada kesulitan. Negara akan mengelola tambang migas untuk memenuhi kebutuhan rakyat.

Negara juga menyediakan fasilitas bahan bakar selain LPG untuk memasak ketika dirasa hal itu lebih efektif dan efisien. Misalnya menggunakan LNG (gas alam) yang dialirkan melalui pipa ke rumah-rumah warga. Semua bahan bakar tersebut dipastikan terjangkau oleh rakyat, atau bahkan gratis sehingga tidak ada rakyat yang merasakan kesulitan untuk mendapatkan bahan bakar bagi rumah tangga maupun usahanya.

Dengan demikian, tidak akan terjadi kelangkaan dan mahalnya bahan bakar seperti gas LPG. Negara tidak akan menyulitkan dan mempermainkan rakyat seperti dalam sistem kapitalisme saat ini. 

Wallahu'alam bissawwab.







Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar