Ramadhan Yang Menyedihkan, Dimana Peran Negara?


Oleh: Rohmah, SE.Sy

Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan peringatan dini terkait potensi kenaikan harga sejumlah komoditas pangan menjelang bulan Ramadan 2025. Adapun komoditas pangan yang menjadi perhatian utama adalah telur ayam ras, daging ayam ras, cabai merah, cabai rawit, dan minyak goreng.

Pasalnya, sejumlah pangan tersebut diprediksi akan mengalami lonjakan harga akibat meningkatnya permintaan selama bulan puasa dan menjelang Hari Raya Idul Fitri. Plt Kepala BPS, Amalia Adininggar juga mengungkapkan kekhawatiran ini dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah di Jakarta, Selasa (4/2/2025). Ia menyoroti bahwa telur ayam ras dan daging ayam ras sering digunakan dalam pembuatan kue dan hidangan khas Ramadhan, sehingga permintaannya cenderung meningkat. “Telur ayam ras dan daging ayam ras perlu diwaspadai karena sebentar lagi memasuki bulan Ramadhan. Telur biasanya untuk membuat kue-kue, yang mulai banyak diproduksi 

BPS mencatat, rata-rata harga telur ayam ras secara nasional pada minggu kelima Januari 2025 telah berada di atas Harga Acuan Penjualan (HAP), yaitu Rp 31.322 per kg. Kenaikan ini terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia, dengan harga tertinggi mencapai Rp 42.000 per kg di Kabupaten Kepulauan Anambas, Sumatera.

Meskipun harga daging ayam ras secara nasional saat ini masih di bawah HAP (Rp40.000 per kg), namun BPS mencatat juga pada minggu kelima Januari 2025, rata-rata harga daging ayam ras sudah mencapai Rp38.768 per kg, dan kenaikan ini terjadi di lebih dari separuh wilayah Indonesia. Bahkan di beberapa wilayah di Papua, harga daging ayam ras mencapai Rp100.000 per kg. Selain telur dan ayam, kenaikan signifikan juga terjadi pada harga cabai merah dan cabai rawit.


Ramadan yang Menyedihkan

Kondisi seperti ini faktanya selalu berulang. Tidak pelak, Ramadan ke Ramadan selalu saja kondisinya menyedihkan. Sebabnya, Ramadan yang semestinya menjadi momen khusyuk kaum muslim dalam beribadah, ternyata harus membuat fokus mereka teralihkan pada gejolak kenaikan harga bahan pangan. Ini masih belum urusan perjalanan mudik ke kampung halaman saat Idul fitri nanti, yang rata-rata juga membutuhkan biaya besar. 

Namun tampaknya, penguasa masih saja kalah cepat dengan pergerakan harga komoditas pangan saat momen potensial puncak inflasi tersebut. Akibatnya, penguasa juga selalu gagal melakukan antisipasi.

Terlebih, tidak sedikit komoditas volatile food itu yang merupakan produk impor. Hal ini tentu sangat berpeluang mempengaruhi kenaikan harga bahan pangan. Belum lagi berbagai ancaman lainnya seperti kelangkaan maupun penimbunan barang. Pantaslah adakalanya masyarakat juga kesulitan memperoleh jenis komoditas tertentu di pasaran.

Namun demikian, negara yang bergantung pada perdagangan pangan luar negeri (impor), nyatanya belum tentu kesulitan dalam menanggulangi ketahanan pangan. Untuk itu, Kemendag secara intensif telah melakukan berbagai kerja sama perdagangan internasional untuk mendukung ketahanan pangan seperti dengan World Trade Organization (WTO) guna meningkatkan produktivitas, mendapat fasilitasi perdagangan, pengelolaan stok dan kerja sama internasional.


Pelurusan Pemahaman Ramadhan sebagai Bulan Mulia

Kondisi kita memang masih lebih beruntung dibandingkan kaum muslim Palestina maupun negeri muslim lain yang tengah dilanda konflik. Meski begitu, hendaklah kesyahduan Ramadan tidak diganggu oleh perkara-perkara duniawi yang seharusnya diselesaikan oleh penguasa, mengingat posisinya sebagai urusan publik. Stok, pasokan, serta fluktuasi harga komoditas pangan jelas membutuhkan regulasi sistemis. Hal ini dalam wujud penjagaan ketersediaan sekaligus stabilitas harganya.

Di samping itu, Ramadan dan Idulfitri memang momen rawan inflasi. Namun demikian, Ramadan yang juga merupakan momen maraknya sedekah karena memberi makan orang yang berpuasa, janganlah dimanfaatkan untuk semata panen cuan oleh para pengusaha maupun produsen pangan. Sebabnya, orientasi berlebihan pada profit biasanya rawan penipuan dalam berbagai transaksi ekonomi. Hal yang begini jelas mencederai keagungan Ramadan. Jika sudah begitu, tidakkah transaksi ekonomi yang jauh dari keberkahan justru turut menjamur?


Ramadan di Bawah Naungan Khilafah

Allah Taala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah [2]: 183).

Ramadan pada masa Rasulullah saw. sungguh penuh dengan suasana ibadah, perjuangan, dan takarub kepada Allah Swt.. Sebabnya, Ramadan adalah bulan ketika Allah Swt. melipatgandakan pahala ibadah dan amal saleh kaum muslim, baik itu berupa ibadah mahdhah (salat tarawih, membaca Al-Quran, sedekah, dan zikir), dakwah maupun aktivitas jihad untuk memerangi orang-orang kafir.

Hanya saja, bagaimanapun ada perbedaan nyata antara Ramadan saat ini dengan Ramadan sebelum keruntuhan Khilafah Islamiyah pada 1924. Sebelum 1924, kaum muslim menjalani ibadah puasa di bawah naungan Khilafah dan kepemimpinan para khalifah yang memiliki komitmen kuat untuk menjaga Islam dan kaum muslim. Sebaliknya saat ini, kaum muslim harus melalui bulan Ramadan di bawah naungan pemerintahan kufur dan pemimpin-pemimpin jahat, yang mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum kufur.

Terkhusus di negeri kita, para penguasa bahkan begitu tega mengoyak Ramadan dengan kemelut inflasi pangan yang tentu saja sangat menodai kekhusyukan kaum muslim dalam meraih sebaik-baiknya pahala dibandingkan pada bulan-bulan yang lain. Belum lagi berbagai krisis sosial, generasi, politik, ekonomi, utang luar negeri, juga beragam bentuk kemaksiatan, yang semuanya itu mustahil kita diamkan.

Allah Taala berfirman, “Itulah negeri-negeri (yang telah Kami binasakan), Kami ceritakan sebagian kisahnya kepadamu. Rasul-rasul mereka benar-benar telah datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Tetapi mereka tidak beriman (juga) kepada apa yang telah mereka dustakan sebelumnya. Demikianlah Allah mengunci hati orang-orang kafir.” (QS Al-A’raf [17: 101)


Islam sebagai Solusi

Islam sebagai sebuah sistem kehidupan sangat berbeda dengan yang lain. Dengan akidah Islam mewajibkan seorang pemimpin sebagai pelayan rakyat. Mereka menjalankan amanah sesuai pandangan syarak. Jadi, ketika mengambil keputusan bukan karena alasan kerja sama, keuntungan materi, dalam pengaruh oligarki, atau demi keuntungan sendiri.

Dengan sistem ekonomi Islam, yaitu pengelolaan keuangan secara Baitumal, akan mampu membiayai riset. Sehingga akan menghasilkan produk unggul sesuai kebutuhan. Petani tidak perlu membeli mahal, karena negara akan menjual dengan harga terjangkau.

Islam juga punya sanksi yang tegas. Bagi pengusaha yang melanggar kebijakan negara, akan ditindak tegas. Selain itu, Islam juga tidak membiarkan para oligarki tumbuh subur dan pada akhirnya mencekik rakyat dengan harga melambung. Dengan demikian, secara alami, rantai distribusi akan terkendali dan kenaikan harga tidak besar.

Islam juga punya kebijakan untuk orang yang tidak mampu. Mereka yang tergolong delapan orang yang menerima zakat akan dipenuhi haknya hingga tidak termasuk dalam kelompok itu. Selain itu, negara juga memberikan modal atau membuka lapangan kerja.

Itulah beberapa kebijakan Islam terkait pemenuhan kebutuhan pokok. Semua kebijakan itu hanya dapat terwujud jika pemimpin muslim mau menjadikan Islam sebagai landasan dalam bernegara. Wallahualam.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar