Rencana Donald Trump Mengambil Alih Gaza, Tunjukkan Dalang Genosida Sesungguhnya


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

Dunia internasional menentang rencana Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang hendak mengambil alih Jalur Gaza. Rencananya, Amerika akan mengambil alih wilayah itu setelah memindahkan paksa warga Palestina. Rencana Trump itu memicu kekhawatiran bahwa dia akan mendukung kampanye pembersihan etnis Palestina di Gaza. Selama konferensi pers dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada hari Selasa, Trump mengatakan bahwa warga Palestina akan senang meninggalkan Gaza. Menurutnya, AS akan mengambil alih kepemilikan jangka panjang atas Jalur Gaza sementara wilayah tersebut dibangun kembali dan dikembangkan kembali sebagai "Riviera of the Middle East". 

Dari sekian banyak aliansi negara, hanya Israel saja yang mendukung rencana Trump. Pejabat senior Hamas Sami Abu Zuhri mengatakan seruan agar warga Palestina di Gaza dibersihkan secara etnis merupakan pengusiran dari tanah mereka. Pejabat senior Hamas lainnya, Izzat al-Risheq, mengatakan usulan tersebut "hanya akan menambah masalah". Pernyataan tersebut mencerminkan kebingungan dan ketidaktahuan yang mendalam tentang Palestina dan wilayah tersebut. Gaza jelas bukan tanah milik bersama dan bukan properti yang dapat diperjualbelikan. (SINDOnews, 6/2/2025).

Tercatat, jumlah warga sipil Palestina yang terusir dari tempat tinggal mereka sudah mencapai lebih dari 26 ribu orang. Sempat pula ada wacana bahwa sebagian lainnya akan diungsikan ke berbagai negara termasuk Indonesia. Hal ini semakin menunjukkan wajah asli sang penjajah sejati. Jika memang ada niat baik, kenapa tidak sekalian saja memindahkan seluruh entitas Yahudi ke AS? Bukankah dia anak emasnya?

Peran AS dalam menggagas gencatan senjata pun tentu bukan karena AS benar-benar menginginkan perdamaian di sana. Siapa pun tahu jika selama ini AS-lah yang menjadi penyokong utama eksistensi negara ilegal Yahudi di Palestina. Bahkan, dalam operasi militer Zion*s di Gaza, AS terkonfirmasi turut serta menanamkan saham besar demi target politik dan ekonomi masa depan mereka di Gaza.

Mengenai hal ini, laporan penelitian Stockholm International Peace Research Institute mengungkap bahwa AS telah memasok 69% kebutuhan senjata Israel periode 2019–2023. Bahkan sejak 7 Oktober 2023, AS telah menghabiskan lebih dari USD22 miliar (sekitar Rp356,8 triliun) untuk mendukung operasi militer Israel di Gaza, Lebanon, dan Suriah.

Tentu dengan modal sebesar ini, AS tidak akan rela krisis panjang yang turut diciptakannya ini akan berakhir begitu saja. Oleh karenanya, tidak heran jika di tengah upaya memastikan tahap kedua gencatan senjata ini berjalan, Trump dengan sengaja memicu polemik bahkan konflik baru dengan menyatakan demi sukses gencatan senjata tahap ketiga, yakni tahap rekonstruksi wilayah Gaza sehingga warga Gaza harus siap direlokasi ke negara-negara sekitarnya.

Bahkan, 2 Februari lalu secara provokatif Trump menerima kunjungan Netanyahu ke Washington DC AS dan menjadikannya sebagai pemimpin asing pertama yang mengunjungi Gedung Putih. Tentu saja aksinya ini memicu protes keras dunia, terutama warga Palestina. Trump dipandang secara terang-terangan menunjukkan dukungannya atas kejahatan luar biasa Zion*s di Gaza dengan menyambut Netanyahu yang sudah diputus oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) sebagai penjahat kemanusiaan.

Netanyahu sendiri dengan pongah telah menjanjikan sebuah “kemenangan total ” dari konflik panjang antara Zion*s dan Palestina, termasuk operasi genosida di Gaza. Pernyataan ini menjadi bukti bahwa entitas Zion*s tidak hendak terikat dengan aturan-aturan internasional. Mereka juga tidak peduli dengan pandangan dunia, termasuk sekutu-sekutunya. Bagi mereka, masa depan hubungan Zion*s dan umat Islam adalah perang dan pemberangusan.

Paradigma ini sejatinya sama dengan yang ada pada jiwa dan pikiran muslim Palestina. Mereka tidak mungkin menyerahkan tanah warisan leluhur mereka kepada para perampasnya. Apalagi di sana ada kiblat pertama umat Islam, serta menjadi tempat Nabi-Nya yang mulia diisrakan ke Sidratulmuntaha. Jadi, sudah sepantasnya jika hubungan yang dibangun antara umat Islam dan entitas Zion*s itu pun adalah hubungan perang semesta dan tidak ada kata damai. Hanya bedanya, dorongannya bukan keserakahan, melainkan iman.

Palestina tidak bisa diserahkan pada para pemimpin umat Islam yang sudah kehilangan muruahnya. Apalagi kepada lembaga-lembaga internasional yang kelahirannya dibidani Amerika. Umat Islam butuh kepemimpinan politik adidaya yang hanya berkhidmat untuk mengurus dan menjaga rakyatnya, sekaligus berkhidmat demi kemuliaan Islam dan umatnya.

Itulah institusi politik Khilafah yang diwariskan oleh Rasulullah Saw. dan para khalifah setelahnya. Institusi ini akan menyatukan miliaran umat Islam di berbagai belahan dunia berdasarkan kesatuan akidah dan syariatnya. Kabar kehadiran Khilafah pada akhir zaman ini begitu menakutkan negara-negara penjajah. Ia bagaikan mimpi buruk yang mengancam hegemoni mereka, hingga mereka berupaya dengan berbagai cara untuk menghalangi penegakannya.

Institusi Khilafah inilah yang kelak akan memobilisasi kekuatan umat Islam dunia di bawah komandonya. Khilafah pula yang akan memimpin pembebasan Palestina dengan mengerahkan tentara beserta segala kekuatan yang dimilikinya. Khilafah yang akan datang kelak, dipastikan akan menghadirkan Khaibar kedua di Palestina, hingga bangsa turunan babon dan kera itu akan mati atau terusir dengan terhina.

Sungguh seluruh krisis yang terjadi di dunia, khususnya dunia Islam, termasuk penjajahan Zion*s di Palestina, adalah akibat bercokolnya ideologi kapitalisme yang diemban negara Barat, Amerika, dan sekutunya. Mereka berkehendak melemahkan kepemimpinan umat Islam dengan menciptakan krisis berkepanjangan di negeri-negeri Islam, memecah kekuatan mereka, merebut kekayaan mereka, serta mengangkangi kedaulatan mereka.

Semua derita ini bisa menimpa umat setelah mereka berhasil menumbangkan institusi penerap hukum Islam sekaligus pemersatu umat, yakni institusi politik Khilafah pada 28 Rajab 1342 H, bertepatan dengan 3 Maret 1924. Padahal, Khilafah inilah yang ditakuti lawan dan selama belasan abad telah memimpin umat dengan syariat Islam hingga berhasil meraih puncak kejayaannya sebagai negara pertama dan adidaya.

Oleh karenanya, urgensi mengembalikan Khilafah yang akan menegakkan syariat secara kaffah tidak bisa lagi ditunda-tunda. Dalam hal ini dibutuhkan peran partai politik ideologis yang concern berjuang dengan ikhlas di tengah umat. Parpol ini akan fokus dalam dakwah untuk menancapkan pemikiran-pemikiran Islam dan memimpin umat berdasarkan pemikiran-pemikiran tersebut untuk menapaki jalan perubahan ke arah terwujudnya sistem Islam.

Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.: “Saat ini akan tiba masa berperang, akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang menampakkan (kebenaran) di hadapan manusia, Alloh mengangkat hati-hati suatu kaum, mereka akan memeranginya dan Alloh Azza wa Jalla menganugerahkan kepada mereka (kemenangan), dan mereka tetap dalam keadaan demikian, ketahuilah bahwa pusat negeri kaum mukminin itu berada di Syam, dan ikatan tali itu tertambat di punuk kebaikan hingga datangnya hari kiamat.” (HR. Ahmad: IV/104; an-Nasa`i: VI/214-215; Ibnu Hibban: 1617-Mawarid; al-Bazzar dalam Kasyful Astaar: 1419; dari jalan al-Walid bin Abdurrahman al-Jarsyi dari Jabir bin Nufair). Syaikh Salim berkat : “Dan isnad ini shahih menurut syarat Muslim.”

Oleh sebab itu, mari kita terus menggelorakan pembelaan dengan jalan mendukung dan bekerja bersama parpol ideologi Islam yang bekerja siang dan malam mewujudkan Khilafah janji Allah dan bisyarah Rasulullah Saw. Wallahu'alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar