Banjir Melanda, Gara-Gara Apa?


Oleh: Ari Sofiyanti

Ketika kaum muslim berbahagia dan khusyu beribadah di bulan ramadhan, air bah tiba-tiba saja datang menerjang. Senin (3/3) malam Kali Bekasi meluap dan menyebabkan banjir sampai 20 titik dan tujuh kecamatan. Malam itu warga telah diimbau siaga banjir. Hujan lebat yang mengguyur menambah tinggi debit air dan puncaknya menjelang sahur warga dikejutkan oleh genangan air yang naik secara signifikan. Malam ramadhan yang syahdu seketika berubah kelabu mencekam. Semua orang pun lari pontang-panting menyelamatkan diri. Harta benda sudah tidak sempat terpikirkan, yang penting anggota keluarga harus dievakuasi. (cnnindonesia.com). 

Sudah diketahui secara umum bahwa banjir di Bekasi terjadi berulangkali. Bahkan, banjir tahun ini menjadi banjir yang terparah dibanding sebelumnya. Sedemikian parahnya hingga di beberapa titik wilayah, air bah menenggelamkan perumahan hingga ke atap. 

Seperti yang dikatakan sejumlah warga dalam wawancara BBC News, mereka mengaku sudah muak langganan banjir. Proses evakuasi anak-anak dan orang tua saat banjir bukanlah hal yang mudah, kehidupan di pengungsian juga tidaklah nyaman. Belum lagi kerugian harta benda yang rusak karena terendam banjir. Padahal mereka banting tulang setiap hari mengumpulkan uang dan menabung, tetapi selalu mengalami kerugian yang berulang tiap lima tahun. Senior data strategist dari Greenpeace Indonesia, Sapta Proklamasi, menjelaskan bahwa ada alih fungsi lahan di aliran sungai (DAS) Kali Bekasi yang masif, serta berkurangnya area resapan air.

Kerusakan bagian hulu DAS Kali Bekasi diakibatkan banyaknya bangunan. Diketahui dalam 10 tahun belakangan sudah sebesar 42 persen tanah di sepanjang DAS Bekasi yang berubah menjadi area pemukiman. Mirisnya, para pengembang perumahan tidak pernah menginfokan kepada pembelinya mengenai fakta bahwa mereka membangun rumah di area rawan. Para pembeli ini baru mengetahui bahayanya ketika banjir datang menerjang rumah-rumah mereka. Selain itu ada temuan dari Greenpeace Indonesia, bahwa Padepokan Garuda Yaksa yang menjadi kediaman Presiden Prabowo Subianto juga berada di DAS Bekasi. Fakta lainnya menunjukkan adanya bangunan tempat wisata di Puncak yang ternyata liar. Alhasil, bangunan ini pun kini dibongkar setelah terjadi banjir bandang.

Kemudian yang menjadi pertanyaan, bukankah tata kelola lahan yang benar seharusnya sudah dipahami oleh pemerintah? Namun anehnya pembangunan perumahan dan alih fungsi lahan yang disebutkan tadi tidak dihentikan. Justru mereka mendapatkan izin mendirikan bangunan dari pemerintah di buffer zone atau DAS tersebut.

Banjir parah yang terjadi berulang kali bahkan berturut-turut menunjukkan kondisi yang tidak ideal. Sudah tidak asing lagi bahwa penyebabnya adalah adanya kesalahan sistem.   

Mengapa alih fungsi lahan terjadi secara masif? Mengapa pemerintah setempat memberi izin alih fungsi lahan tersebut? Mengapa mitigasi bencana banjir seolah tidak pernah serius dilakukan pemerintah?

Setumpuk masalah itu berakar dari sistem kapitalisme. Sistem ini berfokus pada keuntungan materi sehingga pembangunan yang dilakukan hanya melihat pada aspek keuntungan ekonomi tanpa memperhatikan aspek ekologi. Mindset kapitalisme telah menancap bahkan dalam benak pemerintah. Bukan menjadi rahasia lagi bahwa pemerintah hari ini telah menjadi anak kandung kapitalisme. Mayoritas pejabat bukanlah orang-orang amanah. Mengalir dalam darah mereka kerakusan dan individualisme. Mereka menjadi penjaga dan pelindung demokrasi yang melestarikan kapitalisme. Karena demokrasi mengharuskan pembuatan aturan dari benak manusia, bukan Sang Pencipta Kehidupan. Demokrasi melanggengkan kapitalisme lewat aturan-aturan yang dapat dimanipulasi manusia. Di sana celah-celah korupsi pun terbuka. Akibatnya semakin hari kita semakin dikejutkan kasus-kasus korupsi ataupun penyelewengan besar-besaran. Korupsi timah, pagar laut, LPG langka, manipulasi pertamina dan masih banyak lagi. Sedemikian parahnya hingga menciptakan trust issue di masyarakat yang ditunjukkan dengan munculnya tagar "kabur aja dulu" dan "Indonesia gelap".

Sistem kapitalisme telah mencetak pejabat-pejabat korup dan tidak profesional. Dengan orientasi materi mereka tidak peduli pada hal-hal yang seharusnya menjadi prioritas. Misalnya saja memaksakan program makan bergizi gratis, namun memotong anggaran lainnya. Dana yang seharusnya dioptimalkan untuk mengatasi banjir harus dialihkan untuk program-program pragmatis. Apalagi pendidikan yang seharusnya menjadi fasilitas mencerdaskan generasi agar menjadi pribadi berkarakter mulia. Pendidikan seharusnya menjadi fokus yang akan menghasilkan manusia yang sadar dengan pilihan hidupnya agar tidak melakukan perbuatan salah dan berpotensi menimbulkan kerusakan. Namun sekali lagi, penyelenggaraan pendidikan tidak bisa optimal gara-gara kekurangan dana. Entah itu karena efisiensi atau dikorupsi.

Masyarakat seharusnya muak dengan penerapan sistem kapitalisme dan segera menggantinya dengan sistem yang benar, yaitu Islam. Islam adalah akar dari masyarakat Indonesia. Maka bukan hal yang aneh jika kita kembali pada sistem Islam. 

Mengenai bencana banjir terjadi ketika air meluap ke daratan. Normalnya, air adalah makhluk ciptaan Allah yang memiliki fungsi penting dalam kehidupan. Hal ini telah diterangkan dalam Al Quran

“……….dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air; maka mengapa mereka tidak beriman?” (Al Anbiya: 30).

Demikian juga Allah telah menerangkan bahwa alam semesta ini diciptakan dengan penuh keseimbangan. Ekosistem yang terbentuk di bumi adalah sebuah sistem yang terhubung satu sama lain. Jika salah satu atau beberapa komponennya dirusak, maka seluruh keseimbangan ekosistem akan terganggu.

Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah perbendaharaannya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.” (Al-Hijr: 21).

Air diturunkan oleh Allah melalui mekanisme siklus air yang infinite dengan ukuran tertentu. Allah juga memerintahkan kaum muslim untuk berdoa meminta rahmat ketika turun hujan. Bahkan, doa yang dipanjatkan saat hujan adalah doa yang mustajab. 

Namun, ketika manusia ingkar kepada Allah, banyak melakukan maksiat dan kerusakan maka akan menimbulkan bencana. 

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41).

Banjir bandang yang menenggelamkan Bekasi hari ini nyatanya merupakan akibat dari faktor-faktor yang kompleks. Maksiat korupsi, suap-menyuap, penyelewengan dan berbagai kejahatan lainnya telah menghasilkan efek buruk bagi kehidupan ini. Semua maksiat itu bersumber dari sistem cacat bernama kapitalisme. Maka, jangan terlena hingga masih mempertahankan sistem ini. Sudah saatnya kembali pada sistem Islam yang sempurna. Wallahu a'lam bishowab.





Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar