Oleh : Lisa Agustin (Aktivis Muslimah)
Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) Basuki Hadimuljono berharap Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) yang diluncurkan oleh Presiden RI Prabowo Subianto dapat membantu pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur. Danantara yang akan menjadi sovereign wealth fund Indonesia itu, disebut akan mengelola aset senilai lebih dari 900 miliar dolar AS, dengan proyeksi dana awal mencapai 20 miliar dolar AS.
Presiden mengatakan, dana-dana yang dikelola Danantara akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang berkelanjutan dan berdampak tinggi di berbagai sektor, seperti energi terbarukan, manufaktur canggih, industri hilir, dan produksi pangan. (antaranews.com, 24/2/2025)
Apa itu Danantara?
Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi sekaligus adik Presiden Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo mengatakan pembentukan BPI Danantara merupakan gagasan orang tuanya. (cnnindonesia.com, 26/2/2025)
Secara sederhana, Danantara bisa diibaratkan sebagai “bank investasi milik negara” yang mengelola dana dan aset strategis—termasuk dana dari ekspor sumber daya alam (DHE SDA) dan aset pemerintah dari bbagai kementerian untuk diinvestasikan pada proyek-proyek berkelanjutan di luar APBN.
Danantara berwenang mengelola sumber daya alam hingga aset-aset BUMN. Total aset di bawah pengelolaan (AUM) Danantara menembus US$980 miliar atau setara Rp15.978 triliun.
Untuk saat ini, Danantara membawahi tujuh BUMN raksasa. Mereka adalah adalah PT Pertamina (Persero), PT PLN (Persero), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk, dan MIND ID.
Catatan Kritis
Melalui pembentukan tata kelola BPI Danantara, harapan ke depannya pendapatan negara tidak lagi hanya bertumpu kepada APBN untuk menumbuhkan ekonomi sampai 7%, melainkan bisa dibantu kalau foreign direct investment lebih banyak masuk lewat proyek-proyek yang diinisiasi Danantara.
Di satu sisi dikatakan bahwa Danantara akan menjadi salah satu dana kekayaan negara atau Sovereign Wealth Fund (SWF) terbesar di dunia. Namun di sisi lain pemerintah melakukan efisiensi anggaran besar-besaran di sektor vital, termasuk pendidikan dan kesehatan.
Hal ini berdampak cukup besar terhadap belanja operasional lembaga negara yang dipangkas Rp 256,1 triliun serta transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp 50,59 triliun. Pemangkasan TKD memengaruhi dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus fisik (DAK fisik), dana otonomi khusus, dana keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), serta dana desa. Akibatnya, sektor infrastruktur, layanan pendidikan, dan kesehatan di daerah terancam terganggu.
Inilah potret negara Kapitalisme yang tidak peduli pada rakyatnya dengan memilih investasi daripada fokus untuk kesejahteraan rakyatnya.
Maka kita patut mempertanyakan, mengapa pembentukan Danantara dulu ditolak sekarang diterima? Siapakah pendiri dan orang yang ada di belakangnya? Siapakah aktor yang akan menikmati Danantara?
Modal raksasa ini adalah uang rakyat. Uang rakyat yang akan dipertaruhkan dalam persaingan bebas global. Mulai dari penarik investasi asing maupun sebagai modal investasi Indonesia di luar negeri. Atau investasi di program prioritas pemerintah seperti hilirisasi minerba dan sawit. Jika investasi gagal, maka uang rakyat hilang dan tak mungkin kembali.
Sistem Ekonomi Islam
Dalam sistem ekonomi Islam penguasa (Khalifah) memiliki wewenang untuk mengelola harta rakyat untuk kesejahteraan rakyat, bukan dikembangkan untuk investasi. Islam telah memberikan tuntunan tentang konsep kepemilikan harta dan bagaimana mengelolanya.
Pendanaan proyek-proyek untuk kemaslahatan rakyat berasal dari APBN dikelola langsung oleh negara dalam Baitul Mal melalui sumber-sumber penerimaan APBN (Khilafah) yang ditetapkan berdasarkan hukum syarak, bukan dari investasi swasta atau Danantara.
Paling tidak ada tiga sumber utama penerimaan APBN Khilafah. Pertama, sektor kepemilikan individu, seperti infaq/shodaqoh, hibah, zakat dsb. Khusus untuk zakat tidak boleh bercampur dengan harta yang lain.
Kedua, sektor kepemilikan umum seperti pertambangan, minyak bumi dan gas , batubara, kehutanan dsb. Ketiga, sektor kepemilikan negara, seperti: jizyah, kharaj, fa'i, 'usyur, ghanimah, dsb.
Adapun ketentuan pengeluaran pembelanjaan negara, Khalifah memiliki kewenangan penuh berdasarkan ijtihadnya dalam menetapkan anggaran tanpa harus meminta persetujuan Majelis Umat (atau DPR dalam sistem ekonomi kapitalisme). Penyusunan anggaran belanja Negara Khilafah juga tidak terikat dengan tahun fiskal sebagaimana yang ada dalam sistem ekonomi kapitalisme.
Dalam kitab Nizhamul Iqthishadiy Fil Islam karya Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, menjelaskan tentang pengeluaran Baitul Mal yang ditetapkan berdasarkan enam kaidah, yaitu:
Pertama, harta yang menjadi kas tersimpan Baitul Mal, yaitu harta zakat. Harta zakat ini wajib hanya diperuntukkan bagi delapan ashnaf sebagaimana yang telah ditunjukkan dalam al-Quran surat At Taubah ayat 60.
Kedua, Baitul Mal sebagai pihak yang berhak akibat kekurangan atau untuk melaksanakan kewajiban jihad. Contohnya: pembelanjaan untuk para fakir miskin, Ibnu Sabil dan keperluan jihad.
Ketiga, Baitul Mal sebagai pihak yang berhak karena suatu kompensasi, yaitu adanya harta yang menjadi hak orang-orang yang telah memberikan jasa kepada negara, lalu mereka meminta harta sebagai upah atas jasanya. Contohnya: gaji para tentara, pegawai negeri, hakim, dan sebagainya.
Keempat, Baitul Mal sebagai pihak yang berhak dan pembelanjaannya untuk suatu kemaslahatan dan kemanfaatan, bukan sebagai kompensasi apapun. Dengan kata lain, pembelanjaannya diberikan untuk barang, bukan sebagai nilai pengganti harta-harta yang sudah dihasilkan. Contohnya: jalan, air, bangunan masjid, sekolah, rumah sakit dan masalah-masalah lainnya yang keberadaannya dianggap sebagai masalah yang vital, yakni rakyat akan mengalami penderitaan jika perkara-perkara itu tidak ada.
Kelima, Hak pembelanjaan karena adanya unsur keterpaksaan, semisal ada peristiwa yang menimpa kaum muslimin seperti paceklik, gempa bumi, atau serangan musuh; maka hak pembelanjaannya bersifat paten. Baik pada saat harta tersebut ada maupun tidak.
Keenam, Baitul Mal sebagai pihak yang berhak dan pembelanjaannya diserahkan karena adanya kemaslahatan dan kemanfaatan, bukan sebagai kompensasi apapun. Hanya saja rakyat tidak sampai tertimpa penderitaan disebabkan tidak adanya pembelanjaan tersebut. Contohnya pembuatan jalan bii, ketika jalan yang lain sudah ada; dan sebagainya.
Untuk poin pertama yang pertama, pengeluaran harus dilakukan oleh seorang Khalifah hanya mendasarkan pada banyaknya zakat yang masuk ke Baitul Mal.
Untuk poin kedua sampai poin kelima, Khalifah harus mengeluarkan harta dari Kas Baitul Mal sebagai kewajiban yang harus segera ditunaikan negara terhadap hak-hak yang harus diterima oleh rakyatnya sesuai dengan kondisinya masing-masing.
Sedangkan poin keenam, pengeluarannya harus mendasarkan pada ketersediaan Kas Baitul Mal.
Demikian gambaran singkat mengenai konsep kepemilikan dan prinsip pembelanjaan negara dalam sistem khilafah. Mudah-mudahan konsep ini bisa tersosialisasikan dan menjadi bahan renungan bagi umat dan para penguasanya sebagai solusi bagi carut marut keuangan kita hari ini karena belum menjadikan Islam satu-satunya solusi masih setengah-setengah. Wallahu a'lam bishawwab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar