Oleh: Dini Koswarini
Memasuki 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, kebijakan efisiensi anggaran menjadi sorotan tajam di tengah dinamika politik dan ekonomi nasional di Indonesia. Salah satu kebijakan utama yang diterapkan adalah efisiensi dalam bidang anggaran negara yang tertuang pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025.
Efisiensi anggaran ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan keuangan negara. Namun, kebijakan ini menuai kritik karena dianggap kontradiktif dan berpotensi berdampak negatif bagi pelayanan publik. (News Ums, 21/2/2025)
Bahkan Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menyatakan pemangkasan anggaran yang dilakukan secara sembrono dan serampangan berisiko besar terhadap kinerja kementerian dan lembaga negara.
Efisiensi anggaran, menurut Achmad, "Bukanlah hal yang salah, tetapi jika dilakukan tanpa perencanaan yang matang, hasilnya justru dapat merusak layanan publik dan merugikan rakyat."
Namun, pemangkasan anggaran yang sembrono akan berdampak pada terhambatnya proyek infrastruktur, menurunnya kualitas layanan publik, dan meningkatnya angka PHK. "Pemerintah harus mempertimbangkan pendekatan yang lebih selektif dan berbasis data dalam melakukan efisiensi anggaran," tegas dia. (Muslimah News, 21/2/2025)
Efisiensi anggaran banyak menyasar alokasi anggaran untuk rakyat, baik melalui program kegiatan maupun subsidi atau bantuan langsung. Efisiensi juga terjadi pada pendidikan tinggi dan dana riset.
Efisiensi anggaran awalnya dilakukan untuk menutup kebutuhan anggaran beberapa program khsusnya MBG.Sayangnya, realita MBG malah banyak masalah, maka tujuan efisiensi berpotensi sama sekali tidak menyelesaikan masalah.
Efisiensi seolah terlihat tanpa pemikiran yang matang, karena faktanya ada anggaran lain yang seharusnya dipangkas namun justru tidak dipangkas, misalnya anggaran kemenhan untuk alutsista. Makin nyata yang dibela bukan kepentingan rakyat, namun pihak yang punya kepentingan, bahkan makin menguatkan korporatokrasi.
Hal ini dengan jelas memperlihatkan hasil dari kepemimpinan sekuler kapitalisme. Di mana mereka menjadikan penguasa bukan untuk menjalankan tugas, pokok, dan fungsinya dengan baik. Namun justru para penguasa, pemimpin, dan pejabat yang terpilih dalam politik demokrasi akan selalu berada dalam lingkaran konflik kepentingan, baik individu, golongan, ataupun partai. Sehingga akhirnya, kebijakan yang dimaksudkan untuk rakyat tidak sepenuhnya untuk kepentingan rakyat.
Contoh yang lebih nyata terlihat, pada kebijakan Pemerintah untuk menciptakan program baru berupa MBG. Alih-alih memperhatikan kualitas jaminan kesehatan, pendidikan dan lowongan pekerjaan bagi masyarakatnya, justru pemerintah hanya menjalankan program yang sifatnya semu.
Padahal masyarakat tidak hanya butuh kenyang sementara, tapi jaminan hidup aman dan nyaman serta lowongan pekerjaan yang bisa membuat masyarakat terjamin sandang, pangan papannya.
Oleh karenanya, jika dalam Islam penguasa adalah raa'in yang tugas utamanya adalah mengurus rakyat yaitu mewujudkan kesejahteraan dan memenuhi kebutuhan pokok.
Prinsip kedaulatan di tangan syara menjadikan penguasa harus tunduk pada hukum syara, tidak berpihak pada pihak lain yang ingin mendapat keuntungan. Penguasa wajib terikat dengan hukum-hukum yang telah Allah Swt tetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunah Rasul-Nya.
Dalam Islam, sumber anggaran banyak dan beragam, tidak hanya bergantung pada utang dan pajak. Pengelolaan anggaran dalam negara Khilafah dilakukan oleh baitulmal. Sumber pemasukan tetap baitulmal terdiri dari fai, ganimah, anfal, kharaj, jizyah, dan pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya, pemasukan dari hak milik negara, usyur, khumus, rikaz, tambang, serta harta zakat (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah dalam kitab Nizham al-Iqtishadiy fi al-Islam)
Demikianlah tugas dan tanggung jawab penguasa dalam Islam, keberadaan mreka harus sebagai pemimpin yang mengayomi, mengurusi, dan melayani hanya untuk kepentingan dan kemaslahatan rakyat.
Tidak ada tujuan lain dari hal itu. Semua tanggung jawab tersebut kelak akan dihisab di hadapan Allah Ta'ala sehingga penguasa dalam sistem Islam kafah akan menjalankan tugasnya dengan amanah dan adil.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar