Oleh: Yeni Aidha
Gen Z memiliki tekanan yang tinggi, bahkan mereka mendapat banyak sebutan sebab generasi mereka memiliki bermacam-macam sifat yang kadang membuat geleng kepala generasi-generasi sebelumnya. Baik sifat yang positif atau bahkan negatif. Termasuk potensi, hambatan, atau tantangan yang mereka hadapi saat ini. Sayangnya, masalah yang dihadapi gen Z hari ini diselesaikan secara parsial oleh negara. Seperti misalnya kebutuhan rumah, pemerintah justru menawarkan program rumah bersubsidi dengan basis komersial untuk generasi yang belum berkeluarga, atau baru berkeluarga kecil.
Mengapa harus menyediakan rumah subsidi? Ini karena Indonesia sedang senang-senangnya menggandeng investor dan korporasi lahan. Padahal solusi yang ditawarkan itu hanyalah menambah beban para generasi meski awalnya terlihat mudah administrasi atau murah cicilannya.
Presiden RI Prabowo Subianto mengakui tingkat korupsi di Indonesia sudah mengkhawatirkan dan telah menjadi masalah dasar bagi penurunan kinerja di semua sektor. Beliau menyampaikannya dalam forum dunia, World Government Summit 2025. Disebutkan dalam forum tersebut bahwa ada banyak penyebab yang mempengaruhi hal tersebut, mulai dari biaya hidup yang tidak murah, sementara mencari pekerjaan sulit. Seandainya pun mereka sudah mendapatkan pekerjaan, tetapi belum tentu gaji mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya atau orang-orang yang menjadi tanggungannya. Upah di bawah UMR sering kali menjadi pertimbangan untuk bertahan bekerja di sana. Bahkan sekalipun bergaji UMR, namun masih sangat jauh untuk bisa menjangkau memiliki rumah sebab harga properti setiap tahunnya bertambah tinggi. Penyebab inilah yang menjadikan gen Z sulit memiliki rumah.
Terlebih lagi jika solusi rumah subsidi nyatanya dikendalikan oleh para pemodal dan investor. Ini menunjukkan negara lepas tanggung jawab kepada rakyatnya. Masalahnya, melemahnya daya beli akibat biaya hidup termasuk properti yang semakin mahal, namun income tidak mencukupi, artinya ada ketidaksejahteraan dalam masyarakat. Jauhnya masyarakat dari kata sejahtera disebabkan penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ekonomi ini menganut asas kebebasan kepemilikan. Siapa berduit, dialah penguasanya.
Hal ini sudah dijelaskan oleh Syaikh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitabnya nidzhomul iqthisodi fil islam. Jika terus menerus kegiatan ekonomi dibiarkan liberal, maka akibatnya kebutuhan pokok seperti rumah bebas dimonopoli oleh korporasi dan menjadi sektor komersial. Alhasil, harga properti semakin mahal hingga tidak terjangkau oleh masyarakat.
Terlihat juga pada sektor pertambangan legal yang dikuasai korporasi. Alhasil, negara kehilangan sumber pemasukan strategis untuk menjamin kesejahteraan masyarakat. Belum lagi sistem lapangan pekerjaan dikendalikan oleh industri hari ini membuat rakyat tercekik karena kebutuhan mereka dikuasai korporasi.
Jika sistem kapitalisme gagal menjamin ketersediaan rumah bagi gen Z, tetapi tidak dengan sistem Islam yang secara praktis diwujudkan oleh daulah khilafah. Daulah bisa menjamin kesejahteraan masyarakatnya. Dalam khilafah, masyarakat dipermudah untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka, mulai dari sandang, pangan, hingga papan atau perumahan mereka. Kemampuan khilafah tersebut disebabkan karena khilafah memiliki pandangan yang tepat terkait perannya sebagai negara serta paradigma kebutuhan rumah untuk rakyat. Khilafah hadir sebagai raa'in (pengurus umat) sebagaimana hadits Rasulullah Saw "Imam adalah raa'in (penggembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya." (HR. Bukhari).
Keberadaan negara sebagai raa'in memudahkan rakyat memenuhi kebutuhan mereka. Sebab kebutuhan-kebutuhan tersebut akan disediakan dengan asas pelayanan, bukan komersial layaknya kapitalisme. Di sisi lain dalam pandangan Islam, rumah tidak dinilai hanya sekadar tempat untuk berteduh, lebih dari itu rumah dipandang sebagai tempat untuk menjalankan syariat, seperti syariat menjaga aurat. Islam memiliki hukum meminta izin, baik dari orang di luar maupun di dalam rumah, sehingga harus ada pemisahan kamar orang tua, anak laki-laki, anak perempuan, dan anggota keluarga lain.
Rumah juga memiliki fungsi ibadah, sehingga perlu ada mushalla. Fungsi ekonomi sehingga perlu ada dapur. Fungsi edukasi sehingga perlu ada ruang belajar atau perpustakaan dan ruang-ruang lain yang dibutuhkan untuk mendukung pendidikan anak-anak umat. Kemudian antar rumah harus ada jeda halamannya, hal ini penting mengingat rumah menjadi implementasi hukum Syara' agar pandangan orang luar, tidak langsung mengarah pada aktivitas di dalam rumah, sehingga privasi rumah terjaga.
Setidaknya ada empat perkara yang termasuk kebahagiaan yaitu istri salehah, tempat tinggal yang lapang, teman atau tetangga yang baik, dan kendaraan yang nyaman. (HR. Ibnu Hibban)
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar