Khilafah Atasi Inflasi Jelang Ramadhan dan Hari Raya


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

Pemerintah Kota Samarinda menggelar Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Rutin Mingguan bersama Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada Senin (10/02/2025) di Ruang Sembuyutan, Lantai III Balai Kota. Rapat ini dipimpin oleh Staf Ahli Bidang Perekonomian dan Pembangunan serta dihadiri oleh berbagai instansi terkait, seperti Bagian Ekonomi, Dandim 0901, Dinas Perikanan, Polresta Samarinda, Diskominfo, Badan Pusat Statistik (BPS), Bulog, Inspektorat, BPKAD, Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (Ketapangtani), Dinas Perdagangan, serta Dinas Kesehatan. (KOMINFONEWS, 11/2/2025).

Rapat ini merupakan langkah antisipatif pemerintah dalam menghadapi potensi kenaikan harga sejumlah komoditas pangan strategis yang kerap mengalami lonjakan menjelang bulan suci Ramadan dan Hari Raya Idulfitri. Beberapa komoditas yang menjadi perhatian khusus meliputi minyak goreng, daging ayam ras, telur ayam ras, dan bawang putih.

Berdasarkan pengalaman tahun sebelumnya, inflasi pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau pada awal Ramadan Maret 2024 tercatat sebesar 0,41%. Namun, setelah Lebaran, tekanan inflasi mulai berkurang. Fenomena ini hampir selalu terjadi setiap tahun, dimana harga pangan naik menjelang dan selama Ramadan, lalu berangsur stabil pasca-Lebaran.

Kenaikan harga umumnya disebabkan oleh meningkatnya permintaan masyarakat terhadap bahan makanan menjelang Ramadan. Konsumsi rumah tangga cenderung meningkat selama bulan puasa, sehingga harga bahan pokok ikut terdorong naik. Sementara itu, pada momen Lebaran, tekanan inflasi lebih banyak bergeser ke sektor lain, terutama transportasi, seiring dengan tingginya mobilitas masyarakat yang melakukan perjalanan mudik.

Seharusnya hal ini menjadi perhatian khusus dengan mencari akar masalahnya untuk kemudian dicari solusi tuntasnya, bukan malah dibiarkan hingga menjadi kebiasaan yang secara sadar memaksa semua pihak untuk menerimanya. Selama ini tidak ada upaya khusus untuk meningkatkan produksi bahan pangan pokok agar ketika permintaan masyarakat tinggi seperti pada momen Ramadan dan Lebaran, cadangan dari produksi lokal sudah cukup. Justru Indonesia sangat tergantung pada impor pangan.

Mayoritas bahan pokok (beras, bawang putih, garam, daging, susu, gandum, dan gula) masih mengandalkan impor. Data BPS menunjukkan bahwa impor bahan pangan Indonesia pada 2023 mencapai US$13,8 miliar (sekitar Rp223,97 triliun dengan kurs Rp16.230/US$), naik 5,3% dibandingkan 2022.

Ketergantungan pada impor menjadikan Indonesia tidak memiliki ketahanan pangan sehingga ketika permintaan meningkat, tidak ada stok yang siap digunakan, melainkan harus impor terlebih dahulu. Impor juga butuh waktu untuk realisasi dan pengiriman sehingga kerap kali penyelesaian lonjakan harga karena kelangkaan barang berlangsung lambat.

Pada sebagian komoditas, pemerintah memang sudah mengantisipasi dengan melakukan impor sehingga stok aman. Namun, pemerintah hanya fokus pada kecukupan stok nasional dan tidak memastikan komoditas pangan tersebut terdistribusi dengan baik hingga dikonsumsi masyarakat. Menko Bidang Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas) Saat mengunjungi Kelompok Tani Kosagrha di Kota Surabaya, Senin (10-2-2025) menyatakan stok pangan aman dan tidak ada kelangkaan menjelang Ramadan sehingga masih cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Masalahnya, meski stok aman, ternyata lonjakan harga tetap terjadi dan selalu berulang tiap tahun. Akibatnya, masyarakat tetap saja kesulitan memperoleh bahan pangan. Ini karena pemerintah tidak mau memastikan aspek distribusi pangan, sudah berjalan dengan lancar atau belum. Asalkan stok cukup, seolah-olah masalah sudah selesai. Sedangkan sejatinya, stok pangan tidak terdistribusi dengan baik dan masyarakat kesulitan untuk mengaksesnya. Selama aspek distribusi tidak dibenahi, lonjakan harga akan tetap terjadi.

Problematik pada distribusi disebabkan adanya praktik penimbunan (ihtikar), monopoli/oligopoli, kartel, bahkan mafia impor. Pada 2023, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso (Buwas) mengungkapkan tentang keberadaan mafia beras yang menyebabkan harga beras melonjak. Menurutnya, mafia tersebut mengumpulkan dan mengintimidasi para pedagang sehingga pedagang memperoleh harga mahal.

Pada 2024, Gubernur Lampung Arinal Djunaidi mengatakan, ada indikasi monopoli beras ketika terjadi kelangkaan beras di Provinsi Lampung yang notabene merupakan salah satu lumbung pangan nasional. KPPU mengonfirmasi adanya praktik oligopoli dalam distribusi beras. Ekonom dari IPMI International Business School Jimmy M. Rifai Gani mengungkapkan ada sekitar lima sampai delapan pedagang beras berskala besar yang mampu memengaruhi harga beras nasional.

Selain beras, komoditas lain juga menjadi sasaran penimbunan. Pada 2023, Satgas Pangan Sumut menemukan aksi penimbunan 75,6 ton minyak goreng Minyakita di gudang distributor di Medan. Pada 2024, Badan Pangan Nasional (Bapanas) mendapati realisasi pendistribusian bawang putih ke pasaran cenderung minim. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyampaikan bahwa hanya 20% bawang putih impor yang dilepas ke pasaran. Ia menduga, sisanya (80%) ditimbun untuk dilepas ketika harga tinggi.

Demikianlah, mafia impor leluasa mengatur harga pangan nasional sesuka mereka. Miris, acap kali oknum penguasa menjadi bagian dari mafia impor. Kepentingan pribadi penguasa dan kroninya berkelindan dengan kebijakan impor sehingga impor dilakukan bukan untuk kemaslahatan rakyat, tetapi demi meraup keuntungan pribadi. Praktik kongkalikong penguasa dan pengusaha (korporatokrasi) dalam tata kelola pangan nyata-nyata menyebabkan rakyat merasakan kesulitan (masyaqah) dalam memenuhi kebutuhan pangan pada momen bulan suci.

Selain problem produksi dan distribusi, problem lain juga menambah kesulitan masyarakat mengakses pangan. Kondisi ekonomi makro saat ini sedang sulit sebagai akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Kebijakan relaksasi impor yang pemerintah lakukan menyebabkan banyak industri manufaktur dalam negeri yang tumbang. Akibatnya, banyak terjadi PHK. Pekerja yang tidak terkena PHK juga mendapat upah yang rendah. Kondisi ini menyebabkan daya beli masyarakat rendah sehingga kesulitan untuk memperoleh bahan pangan.

Lonjakan harga menjelang Ramadan di Indonesia biasanya disebabkan oleh beberapa faktor utama, seperti peningkatan permintaan yang tajam, praktik spekulasi oleh pedagang, distribusi yang kurang optimal, dan terkadang faktor eksternal seperti cuaca atau kebijakan impor. Beberapa pedagang bahkan dengan sengaja menimbun barang untuk menaikkan harga (praktik ihtikar). 

Sungguh, lonjakan harga menjelang Ramadan yang menyebabkan masyarakat kesulitan mendapatkan bahan pangan merupakan sebuah kezaliman kepada rakyat. Kezaliman ini terjadi karena penerapan sistem sekuler kapitalisme yang melegalkan praktik oligopoli komoditas pangan oleh segelintir kapitalis.

Kapitalisme pula yang menjadikan penguasa tidak berperan sebagai pengurus rakyat (raa’in), tetapi sebagai regulator yang hanya memikirkan stok pangan tanpa memastikan distribusinya hingga ke rumah-rumah rakyat. Bahkan, kapitalisme melahirkan para (oknum) penguasa yang mempermainkan aturan/kebijakan pangan demi keuntungan pribadi, sedangkan kemaslahatan rakyat ia korbankan. Ini sungguh berbeda dengan praktik di dalam sistem Islam (Khilafah).

Kesulitan ekonomi hari ini adalah akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Kapitalisme sebagai sebuah sistem memiliki beberapa prinsip. Yang ternyata prinsip-prinsip ini adalah keliru, mengakibatkan kerusakan dan ketidakadilan ekonomi ditengah masyarakat. Seperti:
1. Prinsip kelangkaan relatif (relative scarcity).
Teori ini mengatakan bahwa kebutuhan manusia itu tidak terbatas, sedangkan sumber pemenuhannya terbatas, sehingga melahirkan kelangkaan. Untuk mengatasi masalah ini, mereka melakukan peningkatan produksi agar mampu memenuhi kebutuhan. Akibat negatif dari teori ini, menghasilkan pemerataan fiktif. Karena hanya dilihat dari keseluruhan (komunal) bukan individual. 
2. Mekanisme harga (price mechanism). 
Kapitalisme menganggap harga adalah mekanisme paling tepat untuk mengendalikan produksi dan distribusi, yaitu dengan cara memberikan kebebasan pada pasar. Sedangkan pasar bebas adalah tempat paling nyaman bagi para kapital. Karena dengan uang mereka, mereka mampu memonopoli pasar. 

Dalam sejarah kekhalifahan Islam, lonjakan harga secara drastis seperti yang sering terjadi di era modern lebih jarang terjadi, karena ada mekanisme pasar yang dikendalikan oleh negara dan diawasi langsung oleh pemerintah Islam (Khalifah dan para pejabatnya). Islam mengatur perdagangan dengan sistem yang lebih adil, termasuk pengawasan terhadap praktik ihtikar (penimbunan barang), regulasi pasar, dan kebijakan kesejahteraan masyarakat.

Dalam pandangan Islam, ketersediaan pangan dan distribusi yang merata hingga sampai ke rumah-rumah penduduk merupakan tanggung jawab negara. Pandangan ini berbasis pemahaman bahwa penguasa adalah pengurus rakyat berdasarkan sabda Rasulullah Saw., “Sesungguhnya imam (penguasa) adalah raa’in (pengurus) dan ia bertanggung jawab terhadap (rakyat) yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari).

Pada aspek produksi, negara Islam (Khilafah) akan meningkatkan produksi pangan lokal untuk memenuhi kebutuhan rakyat sehingga menyelesaikan problem kelangkaan yang bisa menyebabkan lonjakan harga. Khalifah akan mewujudkan ketahanan pangan dengan memberikan dukungan penuh pada petani, peternak, dan industri dalam negeri untuk memproduksi pangan dengan jumlah yang mencukupi kebutuhan masyarakat dan ada kelebihan sebagai cadangan pangan untuk kondisi darurat. Khalifah akan menyediakan suplai pangan lebih banyak pada momen-momen khusus seperti Ramadan dan dua hari raya sehingga tidak terjadi kekurangan bahan pangan.

Khilafah memberikan bantuan yang mendukung peningkatan produksi pangan. Misalnya bantuan lahan, bibit, pupuk, obat pembasmi hama, pengairan, dll. bagi petani. Di bidang peternakan, Khilafah menyediakan bibit, pakan, vitamin, vaksin, dll. yang dibutuhkan peternak. Khilafah juga mendukung industri dalam negeri dengan berbagai kemudahan berbisnis.

Khilafah tidak segan-segan memberi subsidi dan hibah bagi petani, peternak, dan pengusaha sehingga produksi pangan berjalan optimal. Khilafah bisa memberi dukungan demikian besar karena memiliki baitulmal dengan sumber pemasukan yang besar, termasuk di antaranya dari sektor tambang dan SDA milik umum.

Jika produksi pangan lokal tidak mencukupi, Khilafah boleh melakukan impor pangan. Namun, Khilafah tidak boleh menjadi ketergantungan pada impor pangan karena akan mengancam ketahanan pangan di dalam negeri.  

Pada aspek distribusi, Khilafah melakukan pemantauan dan pengendalian harga komoditas-komoditas pangan setiap hari dan segera melakukan antisipasi sesuai syariat ketika ada gejolak harga.

Khalifah akan memastikan tidak ada praktik-praktik tidak islami yang merusak keseimbangan permintaan dan penawaran, seperti penimbunan, kecurangan, permainan harga, monopoli/oligopoli, dan mafia impor sehingga masyarakat bisa mendapatkan bahan pangan dengan harga terjangkau.

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah menjelaskan di dalam buku An-Nizham al-Iqtishadiyi fii al-Islam halaman 206 bahwa penimbunan secara mutlak dilarang dan hukumnya haram. Ini karena ada larangan yang tegas di dalam hadis. Diriwayatkan dalam Sahih Muslim dari Said bin al-Musayyab, dari Ma’mar bin Abdullah al-Adawi, bahwa Nabi Saw. bersabda, “Tidak akan melakukan penimbunan selain orang yang salah.” (HR. Muslim).

Al-Atsram juga menuturkan hadis dari Abi Umamah yang mengatakan, “Rasulullah Saw. telah melarang penimbunan makanan.” Imam Muslim juga menuturkan hadis dari Said bin al-Musayyab bahwa Muammar berkata, Rasulullah Saw., bersabda, “Siapa saja yang melakukan penimbunan, dia telah berbuat salah.” (HR. Muslim).

Larangan di dalam hadis tersebut menunjukkan adanya tuntutan untuk meninggalkan, sedangkan celaan bagi penimbun dengan sebutan “khathi’ (orang yang salah)”—padahal khathi’ adalah orang yang berdosa dan berbuat maksiat—adalah indikasi yang menunjukkan bahwa tuntutan untuk meninggalkan tersebut bermakna tegas (jazm). Dengan demikian, hadis-hadis tersebut menunjukkan keharaman melakukan penimbunan.

Untuk mendeteksi adanya penimbunan, monopoli/oligopoli, permainan harga, dll., sekaligus menindaknya, khalifah menunjuk kadi hisbah. Tugasnya adalah mengawasi praktik perdagangan agar tidak bertentangan dengan syariat.

Para penimbun bisa diberikan hukuman seperti:  
- Penyitaan barang dan distribusinya ke pasar dengan harga wajar.  
- Denda atau hukuman ta'zir (hukuman yang ditentukan penguasa).  
- Jika penimbunan menyebabkan kesulitan bagi masyarakat secara luas, pelakunya bisa dihukum lebih berat sesuai kebijakan penguasa.  

Secara makro, negara menerapkan sistem ekonomi Islam sehingga mampu menjamin terpenuhinya kebutuhan rakyat atas pangan dengan harga murah dan akses yang mudah. Upah yang layak dan adil bagi pekerja dalam Khilafah akan menjadikan rakyat memiliki daya beli tinggi sehingga mampu membeli bahan pangan sesuai kebutuhan.

Kekhalifahan Islam mempersiapkan Ramadhan dengan penuh kematangan, diantara programnya adalah:
1. Penyediaan kebutuhan pokok
   - Negara memastikan kebutuhan pokok tersedia dan harga tetap stabil menjelang Ramadan.  
   - Zakat fitrah disalurkan lebih awal agar fakir miskin bisa mempersiapkan makanan.  
2. Pembangunan infrastruktur masjid dan kegiatan keagamaan 
   - Khalifah sering kali menginstruksikan renovasi masjid besar agar nyaman digunakan selama Ramadhan.  
   - Kajian, halaqah, dan pembacaan Al-Quran diperbanyak di masjid.  
3. Program Sosial dan Kesejahteraan
   - Pemerintah membuka dapur umum dan memberikan makanan gratis saat berbuka puasa bagi fakir miskin.
   - Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, makanan diberikan kepada masyarakat secara luas agar tidak ada yang kelaparan saat Ramadhan.  
4. Penguatan Hukum dan Keamanan
   - Menjelang Ramadan, keamanan di pasar dan masjid diperketat untuk memastikan kenyamanan ibadah.  
   - Hukuman terhadap kriminalitas seperti pencurian atau kecurangan dalam perdagangan diperketat.  
5. Kampanye keagamaan
   - Ulama dan pejabat negara menyebarkan seruan untuk memperbanyak amal, sedekah, dan memperbaiki akhlak selama Ramadhan.  
   - Khalifah sering memberikan pidato khusus menyambut Ramadhan agar umat Islam lebih semangat beribadah.  

Demikianlah jaminan Islam terhadap kebutuhan pangan rakyat. Negara memastikan tiap-tiap individu tercukupi kebutuhan pangannya secara berkualitas. Dengan penerapan Islam kaffah di bawah naungan Khilafah, momen ibadah Ramadan akan bisa dilalui dengan khusyuk tanpa kesulitan memperoleh bahan pangan maupun kendala harga mahal akibat tingginya permintaan. Hal ini akan meningkatkan keimanan dan ketakwaan masyarakat sehingga terwujud keberkahan di seantero negeri. 

Indonesia bisa seperti itu asal mau mengganti sistem yang dipakai saat ini dengan sistem Islam. Langkah awal yang bisa kita lakukan sebagai warga negara yang baik adalah dengan mengkaji Islam kaffah bersama kelompok dakwah Islam ideologis dan mendakwahkannya di tengah-tengah masyarakat.

Wallahu'alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar