Oleh : Wina Apriani
Belakangan masyarakat negeri ini kembali dibuat kecewa yang tak pernah ada habisnya oleh para pengusaha dan penguasa mereka tak ada habisnya gemar melakukan korupsi. Masyarakat tak habisnya dibodohi oleh para penguasa yang gemar melakukan korup. Padahal sebelumnya sudah banyak kasus korupsi yang di temukan, tapi ternyata para pengusaha tidak ada kapoknya melakukan korupsi di negeri ini.
Belakang kejaksaan agung menemukan kasus korupsi yang dilakukan oleh para pimpinan penguasa salah satu badan pemerintah milik negara kita yaitu pertamina. Tidak hanya itu, kepala pun makin pening melihat tingkah para pemimpin pengusaha yang gemar korupsi.
Seperti yang disampaikan halaman kompas.com bahwa dugaan korupsi pengadaan minyak mentah di Pertamina menjadi salah satu skandal keuangan terbesar yang tengah diusut Kejaksaan Agung. Pada periode 2018-2023, Kejaksaan Agung menduga Pertamina melakukan praktik impor minyak mentah melalui broker dengan harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan minyak produksi dalam negeri.
Selain itu, ada indikasi bahwa produk bahan bakar minyak (BBM) berkualitas lebih rendah dijual dengan harga lebih tinggi. Hal itu akhirnya membebani keuangan negara dan masyarakat.
Kerugian negara akibat praktik tersebut diperkirakan Rp 193,7 triliun. Angka ini mencakup berbagai aspek, mulai dari kerugian akibat ekspor minyak mentah dalam negeri, pembelian minyak impor dengan harga tidak wajar, hingga pemberian subsidi dan kompensasi yang seharusnya bisa ditekan jika tata kelola energi berjalan dengan baik.
Hingga Rabu (26/2/2025) malam, Kejaksaan Agung telah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus ini, terdiri dari pejabat tinggi Pertamina dan pihak swasta yang berperan sebagai perantara dalam transaksi minyak mentah dan produk kilang. Dari pihak penyelenggara negara, tersangka utama adalah Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga.
Selain itu, ada Sani Dinar Saifuddin selaku Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Yoki Firnandi selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, dan Agus Purwono selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.
Sementara dari pihak swasta, tersangka utama adalah Muhammad Kerry Andrianto Riza, selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, yang diduga memperoleh keuntungan besar dari impor minyak mentah dan produk kilang. Dua tersangka lainnya dari pihak swasta adalah Dimas Werhaspati, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa, serta Gading Ramadhan Joedo Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
Investigasi Kejaksaan Agung menemukan adanya praktik impor minyak mentah dengan harga jauh lebih tinggi dibandingkan harga produksi dalam negeri. Pejabat Pertamina diduga secara sengaja menolak minyak mentah produksi dalam negeri dan menggantinya dengan impor melalui broker dengan harga yang telah dimanipulasi.
Hal itu menyebabkan harga BBM jadi lebih mahal sehingga pemerintah harus mengeluarkan subsidi yang sangat besar untuk menutupi harga jual di masyarakat. Kejaksaan Agung telah melakukan serangkaian penyelidikan dengan memeriksa 96 saksi dan dua ahli serta menyita hampir seribu dokumen sebagai barang bukti. Sejumlah rumah dan kantor para tersangka juga digeledah untuk mencari bukti tambahan.
Kejaksaan Agung menyatakan bahwa kasus korupsi minyak mentah di Pertamina telah merugikan negara hingga Rp 193,7 triliun. Kerugian ini berasal dari beberapa komponen utama, termasuk ekspor minyak mentah dalam negeri yang tak sesuai kebijakan pemanfaatan energi nasional. Dalam skema ini, minyak mentah dari kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang seharusnya diproses di dalam negeri malah dijual ke luar negeri dengan harga rendah.
Selain itu, terdapat kerugian akibat impor minyak mentah melalui broker sebesar Rp 2,7 triliun. Broker yang terlibat dalam kasus ini diduga telah memanipulasi harga jual minyak kepada Pertamina sehingga harga yang dibayarkan jauh lebih tinggi daripada harga pasar seharusnya. Ini terjadi karena dugaan adanya pemufakatan jahat antara pejabat Pertamina dan broker yang telah menentukan harga sebelum tender.
Infografik anggaran subsidi membengkak walaupun harga minyak turun. Kerugian negara juga berasal dari pemberian kompensasi pada 2023 sebesar Rp 126 triliun. Kompensasi ini diberikan untuk menutupi selisih harga BBM yang tinggi akibat impor minyak mentah yang tak efisien. Selain itu, subsidi BBM yang dikeluarkan pada 2023 mencapai Rp 21 triliun. Jika tata kelola minyak mentah dilakukan dengan lebih transparan, subsidi seharusnya bisa ditekan lebih rendah.
Berdampak Luas
Secara keseluruhan, kasus ini tidak hanya berdampak pada keuangan negara, tetapi juga menggerus Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pemerintah harus mengalokasikan dana yang lebih besar untuk subsidi, yang seharusnya bisa digunakan untuk sektor lain, seperti pendidikan, kesehatan, atau pembangunan infrastruktur.
Kasus korupsi ini berdampak luas terhadap ekonomi negara. Impor minyak mentah dengan harga tinggi meningkatkan harga dasar BBM, yang pada akhirnya memaksa pemerintah mengeluarkan subsidi dalam jumlah besar. Jika impor dilakukan dengan harga wajar, subsidi yang diberikan bisa jauh lebih rendah sehingga APBN bisa lebih hemat dan dialokasikan ke sektor lain.
Akibat korupsi ini, harga BBM di Indonesia menjadi lebih mahal dari seharusnya. Masyarakat harus membayar lebih untuk membeli bahan bakar, yang berimbas pada meningkatnya biaya transportasi dan operasional berbagai sektor industri. Hal ini berkontribusi pada inflasi yang lebih tinggi, menekan daya beli masyarakat, dan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Kembali lagi apa yang disampaikan diatas begitu membuat masyarakat sudah tidak bisa dipercaya dengan para pemimpin kebijakan di negeri ini sampai bisa korupsi yang sudah berlangsung lama tapi baru bisa sekarang terbongkarnya.
Belum lagi kasus ini juga menunjukkan adanya ketidakseimbangan dalam kebijakan energi nasional. Seharusnya, Indonesia mengutamakan produksi minyak mentah dalam negeri sebelum impor. Namun, dalam praktiknya, pejabat Pertamina mengabaikan produksi dalam negeri dan lebih memilih impor dengan harga tinggi.
Sungguh ironi yang sering terjadi di dalam otak otak kapitalisme yang hanya mementingkan cuan dan raup untung belaka.
Padahal harus kita ketahui ada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi untuk Kebutuhan Dalam Negeri.
Seharusnya Pemerintah harus segera mereformasi tata kelola energi agar kasus serupa tidak terulang. Transparansi dalam pengadaan minyak mentah dan produk BBM harus ditingkatkan. Setiap proses impor harus dilakukan secara terbuka dengan pengawasan ketat dari lembaga independen untuk memastikan tidak ada permainan harga yang merugikan negara.
Indonesia juga harus mengurangi ketergantungan pada impor dengan mengoptimalkan produksi minyak mentah dalam negeri. Jika minyak yang diproduksi oleh KKKS dapat diserap oleh kilang dalam negeri, kebutuhan impor akan menurun dan negara tak perlu bergantung pada broker yang memainkan harga.
Terakhir, pemerintah harus menindak tegas semua pihak yang terlibat dalam kasus ini. Jika hukuman bagi pelaku korupsi tidak cukup berat, akan ada celah bagi pejabat lain untuk melakukan hal yang sama di masa depan. Kejaksaan Agung harus memastikan bahwa kasus ini menjadi contoh bagi semua lembaga, bahwa korupsi dalam pengelolaan energi tidak bisa ditoleransi dan akan ditindak dengan keras.
Tapi itu semua sulit terwujud di sistem kapitalisme saat ini karena pada dasarnya hampir setiap tahun korupsi yang terjadi di negeri ini memang tidak akan ada habisnya bagaimana pun terlalu banyak para pejabat pemimpin saat ini melakukan korupsi, walau gaji para pegawai tinggi yang paling besar, tetap saja masih rakus, ada saja akal bulusnya untuk melakukan pemalsuan maupun berbuat curang hanya untuk kepuasan dunia semata.
Jelas salah kaprah dan sangat merugikan khususnya bagi negara sendiri. Terbongkarnya korupsi peristiwa yang booming ini membuat masyarakat tidak lagi percaya dengan berbagai kebijakan penguasa kapitalis saat ini. Kepengurusan yang amburadul membuat rakyat berkali-kali menjerit sakit. Bukannya memperbaiki masalah, kebijakan malah bertambah parah.
Masalah penanganan korupsi maupun bahan bakar energi seolah tidak ada habisnya. Belum selesai masalah yang satu, sudah muncul konflik lainnya. Ketidakjelasan alur pengelolaan migas dan pengawasan terhadap para pejabat Pertamina akhirnya melahirkan berbagai macam masalah dari mulai korupsi tadi yang mencapai triliunan begitu mengkhawatirkan negeri yang katanya subur lohjinawi tapi di dalamnya banyak otak otak korupsi.
Dalam sistem sekuler kapitalisme, negara memang sekadar berperan sebagai fasilitator. Sementara itu, pengelolaan BBM diserahkan pada Pertamina, anak perusahaannya, dan perusahaan swasta. Namanya perusahaan, tidak mungkin mencari rugi. Mereka jelas akan mencari untung materi. Walhasil, mulai dari eksplorasi, produksi, hingga distribusi, yang ada hanya profit oriented.
Sebagai fasilitator, peran negara menjadi minim sekali. Ia hanya bisa menentukan kebijakan sesuai bisnis yang ada. Negara semacam inilah yang saat ini sedang dipermainkan oleh para pemain lapangan. Kalau mau rakyat menikmati BBM murah, negara harus memberi subsidi. Sebaliknya, jika tidak mampu menyubsidi, negara harus tega menaikkan harga. Kalau tidak begini, BBM tidak akan sampai ke tangan rakyat.
Migas menurut Syariat
Dalam pandangan Islam, migas adalah milik rakyat. Hal ini sesuai hadis Rasulullah saw. mengenai pengelolaan sumber daya alam (SDA).
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Dalam hadis ini jelas sekali tersurat bahwa semua SDA yang dimanfaatkan untuk umum adalah milik rakyat, seperti hutan, padang rumput, laut, danau, sungai, tambang, maupun minyak dan gas. Hanya negara yang bertanggung jawab mengelolanya. Tidak boleh menyerahkannya pada asing.
Setelah dikelola, semua SDA itu akan disalurkan ke rakyat dengan harga murah (keuntungan untuk mengganti biaya operasional), bahkan gratis. Negara bertanggung jawab memastikan pengelolaan hingga pendistribusian dalam keadaan aman. Pihak yang berlaku curang akan langsung mendapat tindakan.
Hanya saja, negara tidak bisa mengandalkan kekuatan sendiri untuk mengatur masalah SDA. Apalagi memakai cara pengelolaan asing, bisa-bisa negara malah “dipinteri”, perusahaan asing atau swasta saja yang diuntungkan.
Oleh karenanya, perlu standar aturan yang dapat mengelola semua dengan maksimal. Di sinilah mabda Islam sangat dibutuhkan sehingga negara wajib mengambil mabda Islam sebagai landasan.
Mabda Islam yang memiliki pemikiran dan metode yang khas akan menuntun negara untuk mengurusi rakyat. Islam tidak menjadikan rakyat sebagai beban. Islam akan mengutamakan kepentingan rakyat daripada para pengusaha.
Mabda Islam juga membuat suatu negara memiliki jati diri. Dengan berpegang pada Islam, negara akan jelas dalam menentukan kebijakan dan sesuai standar halal/haram menurut syariat. Sampai kapan tidak mau mengambil mabda Islam sedangkan kondisi rakyat makin sulit dengan penerapan mabda kapitalisme?
Maka sudah saatnya kita bersama -sama mengembalikan sistem Islam di muka bumi ini dibawah naungan khilafah Rasyidah ala minjah nubuwwah inilah satu satunya yang mengakhiri problem para koruptor maupun problematika yang ada di dunia. Wallahu alam bi ash shawab []
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar