Oleh: Arina Sayyidatus Syahidah (Penulis & Aktivis Dakwah)
Krisis mental remaja, bukti kegagalan sistem kapitalisme-sekuler
Masalah kesehatan mental di kalangan remaja Indonesia makin mengkhawatirkan. Survei Indonesia - National Adolescent Mental Health Survey 2024 mencatat bahwa 15,5 juta remaja atau 34,9 persen dari total populasi remaja mengalami gangguan kesehatan mental. Angka ini cukup tinggi dan menunjukkan bahwa banyak remaja menghadapi tekanan psikologis yang serius. Wakil Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Isyana Bagoes Oka, menyoroti bahwa tantangan yang dihadapi generasi muda saat ini makin kompleks, dan salah satu yang paling mendesak adalah kesehatan mental.
Salah satu faktor yang berkontribusi besar adalah media sosial. Meskipunya banyak manfaat, seperti mempermudah akses informasi, menjadi tempat berekspresi, dan mendukung kreativitas, media sosial juga bisa berdampak negatif jika tidak digunakan dengan bijak. Paparan standar kecantikan yang tidak realistis, cyberbullying, serta kecanduan digital bisa membuat remaja makin rentan mengalami gangguan mental. Hastuti Wulaningrum, Ketua Tim Informasi dan Komunikasi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, menjelaskan bahwa eksposur berlebihan terhadap standar sosial yang tidak realistis sering membuat remaja merasa kurang percaya diri, cemas, bahkan depresi. Di sisi lain, tren childfree juga makin banyak diperbincangkan di kalangan anak muda. Menurut data dari BPS (Susenas 2022), sekitar 8,2 persen perempuan memilih untuk tidak punya anak. Alasannya beragam, mulai dari kekhawatiran soal pernikahan, beban finansial, sampai perubahan cara pandang terhadap keluarga.
Untuk mengatasi masalah kesehatan mental remaja, pemerintah lewat Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menjalankan program Generasi Berencana (GenRe). Kabarnya, program ini bertujuan membekali remaja dengan kesiapan menghadapi masa depan, baik dari segi pendidikan, karier, maupun pernikahan. Dengan perencanaan yang lebih matang, diharapkan mereka bisa menjalani hidup dengan lebih stabil, baik secara emosional maupun finansial.
Berdasarkan fakta tersebut, dapat disimpulkan bahwa banyaknya remajayang mengalami gangguan kesehatan mental menunjukkan gagalnya negara dalam membina generasi. Angka 15,5 juta remaja yang terdampak bukan sekadar statistik, tetapi cerminan dari sistem yang tidak mampu memberikan perlindungan, bimbingan, dan solusi hakiki bagi mereka. Jika kondisi ini terus berlanjut, harapan untuk mewujudkan Generasi Emas 2045 menjadi hampir mustahil.
Akar dari permasalahan ini adalah penerapan sistem kapitalisme-sekulerisme yang secara sadar dijalankan oleh negara. Sistem ini mewarnai berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, ekonomi, dan sosial, yang pada akhirnya membentuk pola pikir dan perilaku generasi muda. Pendidikan sekuler, misalnya, mencetak remaja yang berpikir liberal dan kehilangan pemahaman akan jati diri serta tujuan hidupnya. Mereka tumbuh dalam lingkungan yang menekankan kebebasan individu tanpa batas, tetapi di saat yang sama juga menuntut mereka untuk sukses dalam standar duniawi yang serba materialistis. Akibatnya, mereka mudah mengalami kegelisahan, kecemasan, dan tekanan mental ketika menghadapi realitas kehidupan yang tidak selalu sesuai dengan ekspektasi.
Di sisi lain, sistem ini tidak memberikan pemahaman yang benar tentang cara menyelesaikan berbagai persoalan hidup. Ketika remaja menghadapi masalah, mereka tidak memiliki pegangan yang kokoh dalam menghadapi ujian kehidupan. Media sosial, yang seharusnya menjadi sarana edukasi dan komunikasi, justru sering menjadi sumber tekanan sosial yang memperburuk kondisi mental mereka. Tanpa pemahaman yang shahih tentang makna hidup dan bagaimana menghadapi kesulitan dengan benar, banyak remaja akhirnya terjerumus dalam keputusasaan.
Tidak hanya itu, pemikiran kapitalisme juga telah mengubah cara pandang generasi muda terhadap kehidupan. Alih-alih menjadi agent of change yang membawa perubahan bagi masyarakat, mereka justru terjebak dalam pola pikir materialistis, di mana kesuksesan hanya diukur dari seberapa banyak materi yang bisa dikumpulkan. Akibatnya, mereka tidak lagi peduli terhadap halal dan haram yang telah ditetapkan oleh syariat, sebab dalam pandangan kapitalisme, segala sesuatu yang menguntungkan dianggap sah-sah saja, tanpa mempertimbangkan dampak moral dan spiritualnya. Padahal, setiap larangan yang Allah tetapkan bukanlah untuk mengekang, melainkan untuk menyelamatkan mereka dari segala kemungkinan buruk yang akan terjadi, salah satunya gangguan mental. Namun, karena generasi saat ini hidup dalam sistem yang sepenuhnya mengadopsi pemikiran kapitalisme, mereka kehilangan arah dan makna hidup yang sejati. Pendidikan sekuler tidak mendidik mereka untuk menjadi generasi mulia dan tangguh dengan aqidah yang kuat. Akibatnya, krisis mental menjadi semakin parah.
Ketika standar hidup hanya didasarkan pada pencapaian materi dan pengakuan sosial, remaja yang gagal memenuhi ekspektasi ini akan merasa terpuruk. Ditambah lagi, rendahnya taraf berpikir akibat sistem pendidikan sekuler membuat mereka tidak mampu berpikir secara mustanir (cemerlang). Masalah-masalah sepele terasa begitu besar, mereka mudah cemas, stres, dan kehilangan ketenangan karena tidak memiliki pegangan hidup yang kuat, yakni aqidah Islam dan tsaqofah Islam yang membimbing mereka dalam menghadapi realitas kehidupan.
Sehingga, program apa pun yang dicanangkan oleh pemerintah, termasuk Generasi Berencana (GenRe), tidak akan mampu menyelesaikan krisis kesehatan mental ini secara tuntas. Sebab, akar permasalahannya bukan sekadar kurangnya edukasi atau wadah bagi remaja, melainkan sistem kapitalisme-sekulerisme yang diterapkan secara menyeluruh dalam kehidupan. Selama sistem ini masih menjadi landasan dalam mengatur masyarakat, problem mental di kalangan generasi muda akan terus bermunculan. Solusi hakiki bukanlah sekadar program-program perbaikan dalam sistem yang rusak, tetapi dengan mencabut sistem itu sendiri dan menggantinya dengan sistem juga aturan yang haq. Satu-satunya jalan adalah melepaskan pemikiran kapitalisme-sekulerisme dan membuang sistem yang rusak serta merusak ini, lalu menggantinya dengan sistem Islam yang menata kehidupan secara menyeluruh, memberikan makna hidup yang jelas, serta membangun generasi yang sehat secara mental, spiritual, dan intelektual.
Islam dalam membangun generasi kuat dan berkualitas
Berbeda dengan sistem kapitalisme-sekulerisme yang gagal membina generasi, Islam memiliki mekanisme yang jelas dalam mencetak generasi cemerlang yang berkualitas. Dalam Islam, kepemimpinan bukan sekadar alat kekuasaan, tetapi amanah besar yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat, termasuk dalam memastikan lahirnya generasi yang kuat secara mental, intelektual, dan spiritual. Pemimpin dalam Islam wajib menjalankan berbagai sistem kehidupan sesuai dengan syariat Islam, sehingga masyarakat tidak hanya diberi solusi praktisterhadap masalah, tetapi juga diarahkan untuk memiliki cara pandang hidup yang haqtentang kehidupan dunia.
Salah satu langkah fundamental yang diwajibkan dalam Islam adalah membangun sistem pendidikan berbasis aqidah Islam. Berbeda dengan pendidikan sekuler yang hanya menitikberatkan pada aspek duniawi, sistem pendidikan Islam mengajarkan makna hidup yang hakiki, membentuk pola pikir yang mustanir (cemerlang), serta menanamkan ketakwaan sejak dini. Selain itu, Islam juga mewajibkan negara untuk menyiapkan orang tua dan masyarakat agar berperanaktif dalam pembentukan generasi yang bermental kuat. Dengan begitu, remajaakan tumbuh dalam lingkungan yang kondusif, didukung oleh keluarga dan masyarakat yang memahami peran mereka dalam membentuk peradaban Islam yang mulia.
Selain membangun sistem pendidikan yang benar, Islam juga menetapkan kebijakan untuk menjauhkan remaja dari pemikiran yang bertentangan denganIslam. Negara akan memiliki mekanisme kontrol yang ketat terhadap media, budaya, dan arus informasi, sehingga remaja tidak mudah terpapar ide-ide liberal, hedonisme, atau gaya hidup materialistis yang justru menyesatkan mereka. Dengan adanya kebijakan ini, remaja tidak akan blunder dalam menghadapi permasalahan hidup, karena sejak awal mereka sudah dibekali dengan prinsip yang kuat dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan.
Dengan penerapan sistem Islam secara menyeluruh, remaja tidak hanyaakan terhindar dari gangguan mental, tetapi juga akan tumbuh menjadi generasi pembangun peradaban yang tangguh, berilmu, dan memiliki visi hidup yang jelas. Oleh karena itu, solusi hakiki bagi krisis mental ini bukanlah dengan program-program parsial dalam sistem kapitalisme-sekulerisme, tetapi dengan mencampakkan sistem itu dan menggantinya dengan sistem Islam yang telah terbukti mampu mencetak generasi terbaik sepanjang sejarah.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar