Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Pemerintahan Prabowo-Gibran tengah melakukan upaya penghematan besar-besaran dengan melakukan efisiensi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan juga Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sebagai dampaknya, banyak kementerian dan lembaga-lembaga pemerintahan maupun daerah yang terkena pemangkasan anggaran ini. Hanya 17 kementerian/lembaga yang lolos dari pemangkasan ini. Kebijakan ini tentunya mendapatkan banyak sorotan tajam dari berbagai lapisan masyarakat, karena berpotensi berdampak pada pelayanan publik yang diberikan.
Guru Besar UGM Bidang Manajemen Kebijakan Publik, Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo, M.P.P. mengatakan bahwa program penghematan ini cenderung timpang ini akan berdampak pada sektor-sektor yang dianggap lebih mendasar untuk pelayanan publik. Wahyudi menekankan pemerintah untuk benar-benar mengkaji ulang efisiensi ini. Terlebih, menurutnya efisiensi saat ini sangat sulit dilakukan mengingat profil kabinet yang membengkak. Ia menyebutkan bahwa hal tersebut berdampak besar pada anggaran yang kini naik hampir dua kali lipat daripada anggaran tahun sebelumnya yang hanya memiliki 34 kementerian.
Menurutnya, dengan peraturan yang masih tetap sama, kabinet akan tetap menyedot dana yang besar. Ia memberikan contoh, bahwa menteri dan wakil menteri memiliki jatah tunjangan yang tidak terlalu berbeda. Wakil menteri bahkan mendapatkan 85% tunjangan dari jabatan menteri. “Kenyataanya menteri dan wakil menteri yang kita miliki sudah banyak, apalagi ditambah dengan staf khusus yang terus bertambah, sudah pasti akan menyedot anggaran. Terlebih, banyak dari staf khusus ini tidak berhubungan langsung dengan misi dari Kementerian dan tidak selalu meningkatkan kinerja pemerintahan yang bersangkutan,” paparnya.
Wahyudi berharap para pejabat untuk melihat realita yang ada dalam masyarakat. Bahwa ada masyarakat-masyarakat yang terdampak dari penghematan ini, sebagai contoh baru-baru ini, banyak pegawai yang terpaksa harus dirumahkan. Hal-hal seperti ini lah yang harus diperhatikan. “Pemerintah harus memikirkan bagaimana orang tua dari anak-anak itu bisa tetap mendapatkan pekerjaan dan menghidupi keluarga mereka, dan melanjutkan hidup,” pungkasnya. (Universitas Gadjah Mada, 14/2/2025).
Memang benar, pemangkasan anggaran tidak akan mengubah apa pun, selama sistem ekonomi yang diterapkan tetap kapitalisme yang mengandalkan pajak dan utang dalam pemasukan, dan pengeluaran negara tidak disandarkan pada kemaslahatan rakyat. Dengan mengandalkan pajak sebagai pemasukan utama negara, rakyat akan tetap “dicekik” dengan pajak yang tinggi. Segala aspek kehidupan rakyat tetap dipajaki, mulai dari penghasilan, bumi dan bangunan, kendaraan, pembelian barang, dan lainnya.
Pembayaran utang dan bunganya juga akan terus menggerogoti APBN. Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan pada 2023 pemerintah membayar Rp1.064,19 triliun untuk cicilan pokok utang dan bunganya. Jumlah ini mencapai 34,1% dari APBN. Sedangkan untuk belanja negara hanya mengandalkan sisanya.
Sementara itu, berdasarkan konsep kebebasan kepemilikan ala kapitalisme, negara memberikan hak pengelolaan sumber daya alam seperti tambang, hutan, gunung, laut, dan lainnya, pada swasta. Akibatnya, hasil pengelolaannya tidak masuk ke APBN dan rakyat tidak ikut menikmati kekayaan alam yang sejatinya milik mereka. Belanja negara ala kapitalisme juga tidak akan menyejahterakan rakyat. Dana APBN tidak dibelanjakan untuk kemaslahatan rakyat, tetapi untuk kepentingan para pejabat dan pemilik modal yang menjadi kroninya.
Ini menunjukkan bahwa pemangkasan anggaran tanpa perubahan mendasar terhadap tata kelola anggaran hanya akan menjadi kebijakan populis sarat pencitraan yang tidak akan mewujudkan kemaslahatan rakyat. Sebaliknya, tata kelola anggaran tetap bersifat sewenang-wenang (otoriter) demi merealisasikan kepentingan pejabat dan kapitalis yang menjadi kroninya. Sebab akar masalah sebenarnya adalah penerapan sistem kapitalisme yang menjadikan penguasa tidak bekerja untuk kesejahteraan rakyat, tetapi untuk kepentingan pribadi dan para kroninya.
Sejatinya pemangkasan anggaran tidak berpengaruh banyak terhadap kesejahteraan. Karena tetap saja sumber pemasukan terbesar negara ini adalah pajak yang jelas dari rakyat. Pemangkasan anggaran pada kenyataannya tidak menjadikan pajak berkurang, justru meningkat tajam. Pemangkasan ini hanyalah pengalihan penggunaan anggaran dari satu pos ke pos yang lain. Kabarnya pengalihan anggaran ini untuk mendanai program makan bergizi gratis sebagai program yang dianggap berdampak langsung kepada masyarakat. Sayangnya kebijakan ini kurang perhitungan matang.
Dengan sistem ekonomi kapitalisme semuanya serba susah. Terbukti dengan bertambah runyamnya mekanisme tersebut. Masalah justru semakin bertambah. Mulai dari menu makan siang yang kurang berkualitas, tidak meratanya pendistribusian, sampai kepada penguasaan proyek Makan Bergizi Gratis (MBG) oleh segelintir orang, dan korupsi.
Program ini memang membutuhkan dana yang tidak sedikit, bahkan pemerintah telah menganggarkan Rp 71 T dari RAPBN. Hanya saja, anggaran yang ada disebut-sebut tidak akan cukup walau hanya untuk 1 tahun. Seperti biasa, kelalaian menjadi sumber masalah dan keresahan. Untuk menutupi kekurangan ini sampai ada usulan untuk menggunakan dana zakat, ini jelas tidak boleh dibiarkan. Walhasil bukannya menyelesaikan masalah, justru menambah masalah baru.
Di sisi lain, untuk perkara teknis sudah bekerja sama dengan pihak luar seperti Jepang. Ini dilakukan untuk mewujudkan apa yang sudah direncanakan. Sehingga sangat wajar jika pemangkasan anggaran ini disebut sebagai pencitraan (kebijakan populis-otoriter) karena terkesan memaksakan.
Memang seakan memberi kabar gembira, padahal bersamaan dengan itu sederet kesulitan hidup mananti di depan mata. Mulai dari naiknya pajak, tingginya biaya pendidikan, tidak stabilnya harga sembako, naiknya BBM, kelangkaan gas 3 kg, dan sederet masalah lainnya.
Padahal sejatinya masyarakat lebih membutuhkan pendidikan gratis, kesejahteraan dan keterjangkauan bahan pangan, sehingga dapat memberi gizi terbaik bagi anak-anak dan keluarga.
Berbeda dengan profil penguasa dalam Islam. Penguasa dalam Islam adalah pelayan (raa’in) bagi rakyat. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw., “Imam (pemimpin) adalah raa’in (pelayan) dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya.”(HR. Bukhari dan Muslim).
Muhammad Abd al-Aziz bin Ali asy-Syadzili dalam Al-Adab an-Nabawi menjelaskan makna ar-raa’in adalah al-hâfidz al-mu’taman (penjaga, pemelihara, wali, pelindung, pengawal, pengurus, pengasuh yang diberi amanah). Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr bin Abdul Malik al-Qasthalâni dalam Irsyâd as-Sâri li Syarh Shahih al-Bukhari menjelaskan bahwa penguasa/pemimpin wajib mewujudkan kemaslahatan siapa saja yang berada di bawah kepemimpinannya (Al-Waie, 26-9-2021). Tugas penguasa adalah mengurus negara, termasuk aspek keuangan, hingga terwujud kesejahteraan di tengah masyarakat.
Anggaran dalam Khilafah wajib dikelola berdasarkan syariat Islam untuk kemaslahatan rakyat. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam buku Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah Jilid 2 halaman 163 menjelaskan, Asy-Syari’ mewajibkan penguasa untuk memerintah dengan kitab Allah dan Sunah Rasul-Nya serta melarangnya untuk melirik kepada selain Islam atau mengambil sesuatu pun dari selain Islam. Kewajiban ini melekat pada penguasa karena ia dibaiat untuk menjalankan hukum Allah SWT., bukan yang lain. Dengan demikian, penguasa tidak boleh mengelola anggaran menggunakan hukum buatan manusia.
Mengenai belanja negara, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan dalam Muqaddimah ad-Dustûr Pasal 152 pengeluaran baitulmal dibagi menjadi enam bagian:
1. Delapan golongan yang berhak menerima zakat. Mereka berhak mendapatkan harta dari pos pemasukan zakat.
2. Jika dari kas zakat tidak ada dana maka untuk orang fakir, miskin, ibnu sabil, kebutuhan jihad dan gharimin (orang yang dililit utang) diberi harta dari sumber pemasukan baitulmal lainnya.
3. Orang-orang yang menjalankan pelayanan bagi negara seperti para pegawai, penguasa, dan tentara.
4. Untuk pembangunan sarana pelayanan masyarakat yang vital seperti jalan raya, masjid, rumah sakit, dan sekolah.
5. Pembangunan sarana pelayanan pelengkap.
6. Bencana alam mendadak.
Jika dana baitulmal tidak mencukupi, sedangkan ada kebutuhan yang bersifat darurat, negara mengusahakan pinjaman nonribawi secepatnya dari warga yang kaya, kemudian pinjaman tersebut dibayar dari hasil pemungutan dharibah (pajak). Pajak hanya dipungut sementara, ketika kas baitulmal kosong dan ada kebutuhan darurat. Jika kebutuhan dana sudah terpenuhi, pemungutan pajak dihentikan. Pajak hanya dipungut dari laki-laki muslim yang kaya sehingga tidak membebani rakyat.
Selain itu, Khilafah tidak akan membebani APBN dengan utang luar negeri. Dengan demikian, anggaran tidak tersedot untuk membayar utang dan bunganya. Rakyat juga tidak terbebani pajak yang “mencekik”.
Karena pada umumnya utang luar negeri ribawi, padahal Allah SWT. telah mengharamkan riba. Allah SWT. berfirman:
اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّ ۗ ذٰلِكَ بِاَ نَّهُمْ قَا لُوْۤا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰوا ۘ وَاَ حَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا ۗ فَمَنْ جَآءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَا نْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَ ۗ وَاَ مْرُهٗۤ اِلَى اللّٰهِ ۗ وَمَنْ عَا دَ فَاُ ولٰٓئِكَ اَصْحٰبُ النَّا رِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
"Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." (QS. Al-Baqarah: 275).
Utang luar negeri juga berbahaya bagi kedaulatan negara karena akan memberi jalan bagi negara lain untuk menguasai kaum muslim, padahal Allah SWT. telah melarangnya. Allah SWT. berfirman:
ۗ وَلَنْ يَّجْعَلَ اللّٰهُ لِلْكٰفِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلًا...
.... Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang beriman." (QS. An-Nisa': 141).
Penguasa, pejabat, dan pegawai dalam Khilafah dipilih dari orang-orang yang bertakwa, amanah, takut “menyentuh” harta milik rakyat, dan bekerja secara profesional. Allah SWT. berfirman:
اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَ مٰنٰتِ اِلٰۤى اَهْلِهَا ۙ وَاِ ذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّا سِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِا لْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَا نَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا
"Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat." (QS. An-Nisa': 58).
Allah SWT. juga berfirman:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّا مِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَآءَ بِا لْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰ نُ قَوْمٍ عَلٰۤى اَ لَّا تَعْدِلُوْا ۗ اِعْدِلُوْا ۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰى ۖ وَا تَّقُوا اللّٰهَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ بِۢمَا تَعْمَلُوْنَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Ma'idah: 8).
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam buku Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah Jilid 2 halaman 163 menjelaskan, Rasulullah Saw. telah memperingatkan dengan sangat keras agar penguasa tidak “menyentuh” harta kekayaan umum dengan alasan apa pun. Rasulullah Saw. bersabda, “Demi Allah, tidak seorang pun dari kalian mengambil sesuatu yang bukan haknya, kecuali dia akan menanggungnya pada hari kiamat.” (HR. Bukhari).
Dengan demikian, para pejabat akan bersikap amanah dalam mengelola anggaran untuk kemaslahatan rakyat dan tidak akan menggunakan anggaran untuk memperkaya diri sendiri maupun kroninya.
Profil penguasa, pejabat, dan pegawai yang demikian merupakan buah dari penerapan sistem pendidikan Islam yang berbasis akidah Islam. Keimanan kuat yang terbentuk melalui pendidikan didukung pula oleh kontrol amar makruf nahi mungkar dari masyarakat yang bertakwa sehingga pengelolaan anggaran terjaga agar sesuai syariat.
Selain itu, adanya sistem sanksi yang tegas juga menjadi pencegah pelanggaraan atas harta negara. Sanksi dalam Islam memiliki dua fungsi, yaitu jawabir (penebus dosa pelaku) dan zawajir (pencegah orang lain berbuat serupa). Dengan demikian, akan terwujud efek jera dan para pejabat serta pegawai akan bersikap amanah terhadap harta milik umum.
Demikianlah penerapan Islam kaffah dalam institusi Khilafah, yang berperan strategis menjaga anggaran negara agar dikelola sesuai syariat sehingga mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat. Wallahu'alam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar