Pendidikan Gagal Melindungi Anak dari Pelecehan Seksual?


Oleh: Amri (Mahasiswi & Aktivis Remaja)

Kasus pelecehan seksual di sarana pendidikan bukanlah fenomena baru, melainkan tragedi yang terus berulang. Berbagai laporan dan kesaksian korban telah mengungkap betapa mengerikannya pengalaman yang mereka alami. Tindakan ini bukan sekadar pelanggaran hak asasi manusia, tetapi juga perampasan masa depan para korban, merenggut mimpi dan potensi mereka. Ironisnya, mereka yang seharusnya melindungi dan mendidik, justru menjadi pelaku keji.


Mengapa Siswa Jadi Korban?

Dikutip dari tirto.id, seorang guru Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (PJOK) di sebuah sekolah dasar di Kecamatan Doreng, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), tega melakukan perbuatan keji mencabuli delapan pelajar yang menjadi anak didiknya. Aksi bejat guru olahraga ini diketahui telah berlangsung sejak korban berada di kelas 1 SD. Korban berjumlah delapan dengan usia 8-13 tahun.

Dikutip dari megapolitan.kompas.com, kuasa hukum SMK Kalideres, Dennis Wibowo, menyebut ada 40 siswi yang mengaku mengalami dugaan pelecehan oleh oknum guru berinisial O di sekolah tersebut. Dennis mengatakan para siswi itu mengaku dilecehkan dengan cara memegang pundak, salaman yang lama, dan mengelus pinggul.

Banyak korban yang memilih bungkam karena takut, malu, atau tidak tahu harus mencari pertolongan ke mana. Mereka terjebak dalam lingkaran setan kekerasan, di mana pelaku sering kali memiliki kekuasaan dan pengaruh.


Biang Kerok Pelecehan Seksual di Lingkungan Pendidikan?

Pelecehan seksual di lingkungan pendidikan kembali mencoreng dunia pendidikan kita. Berulangnya tragedi ini bukan sekadar kesalahan oknum, melainkan cerminan dari akar permasalahan yang lebih dalam, yaitu sistem demokrasi sekuler yang dianut saat ini. Sistem ini, yang memisahkan agama dari kehidupan, telah menciptakan kekosongan nilai dan moral yang berujung pada krisis kemanusiaan.

Sistem demokrasi sekuler yang kita anut saat ini, dengan dalih kebebasan individu, justru menciptakan ruang hampa. Moralitas tereduksi menjadi preferensi pribadi, agama terpinggirkan dari ranah publik, dan hukum kehilangan taringnya dalam menegakkan keadilan.

Guru, yang seharusnya menjadi panutan dan teladan, kini justru menjadi predator yang memangsa anak didiknya sendiri. Ini bukan hanya pengkhianatan terhadap amanah pendidikan, tetapi juga penghancuran masa depan generasi muda.

Media, dengan tontonan liberalnya, telah menjadi racun yang merusak mental generasi muda. Adegan-adegan vulgar dan eksploitasi seksual yang ditayangkan secara bebas telah menormalisasi kekerasan dan merendahkan martabat manusia. Lingkungan pergaulan yang bebas, tanpa batas-batas moral, semakin memperparah situasi.

Sistem pendidikan sekuler juga gagal menanamkan nilai-nilai moral dan etika yang kuat pada para siswa dan pendidik. Pendidikan yang hanya berfokus pada pengembangan intelektual dan keterampilan teknis telah mengabaikan pembentukan karakter dan moralitas. Akibatnya, kita menghasilkan individu-individu yang cerdas secara akademis, tetapi kosong secara spiritual dan moral.

Sistem hukum yang lemah dan penegakan hukum yang tidak tegas semakin memperburuk situasi. Pelaku pelecehan seksual sering kali lolos dari hukuman, atau mendapatkan hukuman yang ringan. Ini mengirimkan pesan bahwa pelecehan seksual bukanlah kejahatan serius, dan bahwa korban tidak mendapatkan keadilan. 


Solusi Islam untuk Pelecehan Seksual

Pelecehan seksual menghantui berbagai lapisan masyarakat. Islam menawarkan solusi yang berakar pada prinsip-prinsip yang adil. Salah satu pilar utama pencegahan pelecehan seksual dalam Islam adalah penerapan sistem pendidikan yang berlandaskan pada akidah. Pendidikan Islam tidak hanya berfokus pada aspek kognitif, tetapi juga pembentukan karakter dan akhlak mulia. Melalui pendidikan, individu diajarkan tentang batasan-batasan interaksi antar lawan jenis, pentingnya menjaga pandangan, dan etika pergaulan yang sesuai dengan syariat.

Islam juga mengatur sistem pergaulan yang jelas dan tegas. Islam menerapkan aturan untuk menjaga aurat, menghindari khalwat (berdua-duaan), dan membatasi interaksi yang tidak perlu, bertujuan untuk meminimalisir peluang terjadinya pelecehan seksual. Sistem ini bukan bentuk diskriminasi, melainkan upaya preventif untuk melindungi kehormatan dan keselamatan setiap individu.

Lebih dari sekadar pencegahan, Islam juga menerapkan sistem sanksi yang tegas bagi pelaku pelecehan seksual. Hukuman yang berat, sesuai dengan tingkat kejahatan, bertujuan untuk memberikan efek jera dan melindungi korban. Sistem ini menjamin bahwa keadilan ditegakkan, dan pelaku tidak akan lolos dari pertanggungjawaban.

Peran media juga tak kalah penting dalam mencegah pelecehan seksual. Media yang Islami, yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika, akan menyajikan konten yang edukatif dan konstruktif. Media harus menjadi agen perubahan, bukan justru memicu nafsu dan merendahkan martabat manusia.

Namun, semua sistem ini tidak akan efektif tanpa ketakwaan individu. Kesadaran akan pengawasan Allah SWT, rasa malu, dan tanggung jawab moral, menjadi benteng terakhir yang melindungi seseorang dari perbuatan keji.

Kontrol dari masyarakat juga sangat diperlukan. Masyarakat harus aktif mengawasi dan melaporkan segala bentuk perilaku mencurigakan yang mengarah pada pelecehan seksual. Sikap acuh tak acuh hanya akan memperburuk situasi dan memberi ruang bagi pelaku untuk beraksi.

Terakhir, penerapan sistem Islam secara menyeluruh oleh negara menjadi langkah konkret untuk mengatasi pelecehan seksual. Negara memiliki peran penting dalam menegakkan hukum, memberikan perlindungan bagi korban, dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi penerapan nilai-nilai Islam. Dengan sinergi antara individu, masyarakat, dan negara, pelecehan seksual dapat diberantas hingga ke akar-akarnya.

Wallahu a’lam bissawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar