Wamen Kemenaker, Nyinyirmu Menyakitiku! (Jawaban #KaburAjaDulu)


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) merespons mengenai #KaburAjaDulu yang ramai diperbincangkan masyarakat di media sosial. Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamen Kemenaker) Immanuel Ebenezer Gerungan mempersilahkan Warga Negara Indonesia (WNI) yang ingin pergi dari Indonesia. Namun, dia mengimbau agar WNI yang telah pergi untuk tidak kembali lagi ke Indonesia. "Mau kabur, kabur aja lah. Kalau perlu jangan balik lagi," ucap Immanuel Ebenezer. (Tempo online, 17/2/2025).

Respon pejabat yang menanggapi #KaburAjaDulu dengan nada meremehkan dan tertawa tidak sesuai dengan adab kepemimpinan dalam budaya Indonesia maupun Islam. Seorang pemimpin harus memiliki empati, bijaksana dalam berbicara, dan berusaha mencari solusi atas keluhan rakyat. Seharusnya pemimpin menginvestigasi penyebab keluhan, membuka dialog dengan rakyat, dan mengambil langkah nyata untuk memperbaiki keadaan. Sebagai seorang pejabat, memimpin dengan adab dan tanggung jawab adalah kunci. Rakyat bukanlah lawan untuk ditertawakan, tetapi amanah yang harus dijaga.

#KaburAjaDulu adalah ungkapan kekecewaan generasi muda terhadap berbagai isu nasional, mulai dari ketakpastian ekonomi, lapangan pekerjaan yang makin sulit, kebijakan yang blunder, hingga persoalan penegakan hukum yang terus melanda. Alhasil, tagar ini telah bertransformasi menjadi simbol perlawanan generasi muda terhadap sistem negara ini yang kerap kali gagal memenuhi harapan rakyatnya.

Kondisi ini tentu tidak lepas dari pengaruh digitalisasi—khususnya medsos—yang menggambarkan tentang kehidupan negara lain yang lebih menjanjikan. Kualitas pendidikan yang rendah di dalam negeri, bertemu dengan banyaknya tawaran beasiswa ke luar negeri di negara maju, makin memberikan peluang untuk “kabur”. Sulitnya mencari kerja ini kemudian bertemu dengan banyaknya tawaran kerja di LN, baik pekerja terampil maupun kasar dengan rate gaji yang lebih tinggi di negara maju.

Ada curhatan salah satu anak muda terhadap ketakadilan di negara ini. Ia menyatakan bahwa biaya kuliahnya Rp150 juta, sedangkan gaji yang ia dapat dari bekerja hanya Rp1,2 juta/bulan. Tentu ini suatu kondisi yang ia anggap tidak adil. Akhirnya ia pun memutuskan untuk bekerja di luar negeri karena gajinya yang lebih tinggi dan layanan publik yang terjamin.

Begitu juga banyak mahasiswa Indonesia yang kuliah di luar negeri lebih memilih menetap di sana dibandingkan pulang ke Indonesia setelah bekerja. Bahkan, mencari suami WNA menjadi salah satu cara agar bisa “kabur” dari Indonesia dengan harapan agar anak-anak mereka bisa terjamin akan layanan pendidikan dan kesehatannya nanti di negara bapaknya. Banyaknya POV di medsos WNI yang bekerja di luar negeri yang menceritakan bahwa jika ingin punya rumah sendiri harus bekerja di luar negeri, kian menambah daftar alasan mengapa ingin pindah ke luar negeri.

Kegagalan negara menciptakan lapangan kerja juga terlihat dari penciptaan lapangan kerja di sektor formal yang menurun tajam, yakni dari 15,6 juta (2009—2014) menjadi hanya 2 juta (2019—2024). Sedangkan data pencari kerja selama 2009—2024 makin naik pada era bonus demografi. Kondisi ini akhirnya berdampak terhadap kelayakan gaji dan suasana kerja yang penuh tekanan. Prinsip perusahaan “jika tidak ikut aturan perusahaan, akan di-PHK” pun menjadi ketakutan pekerja karena bagi perusahaan, masih banyak orang lain yang butuh pekerjaan itu.

Akhirnya, banyak masyarakat Indonesia yang bekerja di sektor informal. Akan tetapi, tingginya pajak dan bunga pinjaman modal juga membuat bisnis UMKM tidak berlanjut. Birokrasi yang berbelit juga menjadi tantangan lain dalam membangun bisnis. Alhasil, generasi muda dihadapkan pada kebuntuan untuk mendapatkan kerja yang layak.

Kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari fenomena brain drain yang menjadi isu krusial dalam konteks globalisasi (liberalisasi) ekonomi yang makin menguat. Brain drain adalah fenomena ketika orang-orang terpelajar atau profesional meninggalkan negara asal mereka untuk bekerja di luar negeri.

Dalam analisis brain drain, teori ketergantungan dalam hubungan internasional dapat digunakan untuk memahami dinamika yang terjadi. Teori ini menjelaskan bahwa negara-negara berkembang sering kali terjebak dalam siklus ketergantungan. SDM yang berkualitas akan pergi mencari kesempatan di negara maju. Selain itu, brain drain memperlebar kesenjangan antara negara maju dan berkembang, menciptakan ketakadilan dalam akses terhadap sumber daya dan kesempatan.

Poin mendasar yang tidak boleh luput adalah kesenjangan negara maju dan berkembang adalah hasil dari peradaban kapitalisme. Liberalisasi ekonomi (globalisasi) adalah bentuk penjajahan gaya baru yang mengatasnamakan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Negara maju yang memiliki kecanggihan teknologi dengan pendekatan investasi telah mengeksploitasi SDA negara berkembang.

Jadilah negara maju menguasai rantai pasokan bisnis global, mulai dari bahan baku sampai industri. Akibatnya, negara berkembang hanya menjadi pasar tanpa bisa membangun industri secara mandiri. Ketergantungan ini makin dicekik dengan berbagai pinjaman dan utang dengan dalih membangun infrastruktur sehingga negara berkembang akan selalu di bawah intervensi negara maju lembaga internal.

Ditambah lagi negara berkembang memiliki populasi penduduk yang besar, sedangkan negara maju sedang terjadi krisis populasi, seperti Jepang, Uni Eropa, Amerika Serikat, Inggris, Korsel, Taiwan, dan Singapura. Tidak heran jika negara-negara itu membutuhkan banyak pekerja asing untuk menggerakkan industri mereka, baik untuk pekerja ahli (brain drain) maupun pekerja kasar. Untuk pekerjaan kasar, warga asli negara tersebut tidak tertarik untuk melakukannya sehingga SDM kualitas rendah negara berkembang berbondong-bondong untuk mengisi lowongan kerja tersebut.

Namun, di sisi lain juga muncul persoalan bagi WNI yang bekerja di luar negeri, yakni value kehidupan Barat yang ikut memengaruhi kehidupan mereka. Misalnya, kehidupan individualis dan liberal, sulit untuk menjalankan salat, bahkan ada yang menjadi korban eksploitasi. 

Dalam Islam, kepemimpinan bukanlah sekadar posisi, tetapi amanah yang harus dijalankan dengan adil dan penuh tanggung jawab. Ada beberapa aspek yang membuat respons pejabat tersebut kurang tepat menurut Islam:  
1. Tidak mencerminkan kepemimpinan yang rahmatan lil ‘alamin. Rasulullah Saw. mengajarkan pemimpin harus mendengar keluhan rakyatnya, bukan meremehkan atau menertawakannya. Dalam hadis disebutkan, "Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, yang kalian doakan dan mereka mendoakan kalian." (HR. Muslim). Respon pejabat tersebut justru bisa menimbulkan kemarahan dan antipati dari rakyat, yang bertentangan dengan prinsip kepemimpinan dalam Islam.  
2. Tidak mencontoh akhlak kepemimpinan para Khulafaur Rasyidin. Umar bin Khattab pernah berkata, "Jika ada rakyatku yang kelaparan, maka aku yang pertama kali merasakannya. Jika ada rakyatku yang merasa tidak aman, maka aku tidak akan tidur tenang." Ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus merespons keluhan rakyat dengan serius dan mencari solusi, bukan menanggapinya dengan candaan.

Respon pejabat yang lebih tepat seharusnya mencerminkan kepedulian, kebijaksanaan, dan mencari solusi, misalnya:  
1. Memahami sebab munculnya tagar #KaburAjaDulu. Apakah itu kritik terhadap kebijakan tertentu? Apakah ada masalah sosial yang mendasarinya?  
2. Menunjukkan empati dan komunikasi yang baik, misalnya dengan mengatakan: "Kami memahami bahwa ada keresahan di masyarakat. Kami akan mendengar aspirasi ini dan mencari solusi terbaik bersama."
3. Mencari jalan keluar. Jika ada kebijakan yang bermasalah, sebaiknya dilakukan evaluasi daripada sekadar merespons dengan nada mengejek.  

Jika dalam sistem kekhalifahan muncul fenomena semacam #KaburAjaDulu, ada beberapa kemungkinan respons dari seorang khalifah:  
1. Menelusuri penyebabnya dengan serius. Seorang khalifah tidak akan mengabaikan keluhan rakyat. Seperti yang dilakukan Umar bin Abdul Aziz ketika mendengar keluhan, beliau langsung meneliti akar permasalahannya dan mengambil tindakan cepat. 
 2. Menggelar Majelis Rakyat atau Syura. Dalam Islam, pemimpin harus terbuka terhadap kritik dan saran. Khalifah Umar sering meminta pendapat rakyatnya secara langsung, bahkan beliau pernah berkata: "Jika aku salah, luruskan aku." 
3. Menyediakan solusi konkret. Jika ada kebijakan yang menekan rakyat, seorang khalifah tidak akan bersikap defensif tetapi justru akan mengevaluasi dan memperbaiki kebijakan tersebut.  

Dalam Islam, peduli dengan harapan generasi adalah perkara prioritas yang menjadi tanggung jawab bersama umat Islam. Oleh sebab itulah, kondisi generasi dan harapan yang mereka inginkan harus dijawab dengan paradigma Islam agar generasi muda hari ini mampu menemukan jalan keluar dari masalah ini sekaligus mewujudkan harapan hidup mereka. 

Allah SWT., berfirman:
لَهٗ مُعَقِّبٰتٌ مِّنْۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهٖ يَحْفَظُوْنَهٗ مِنْ اَمْرِ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَ نْفُسِهِمْ ۗ وَاِ ذَاۤ اَرَا دَ اللّٰهُ بِقَوْمٍ سُوْٓءًا فَلَا مَرَدَّ لَهٗ ۚ وَمَا لَهُمْ مِّنْ دُوْنِهٖ مِنْ وَّا لٍ
"Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia." (QS. Ar-Ra'd: 11).

Umat Islam tidak boleh diam atau cuek dan masih berpikir hanya untuk menyelamatkan diri masing-masing. Semua lini masyarakat telah menjadi korban kezaliman sistem, mulai kalangan intelektual yang gajinya direnggut dengan masalah tidak turunnya tukin, mahasiswa dan pelajar yang beasiswa dan bantuan pendidikannya diblok dengan dalih efisiensi anggaran, kalangan jurnalis yang banyak di-PHK, kalangan pengusaha yang dituntut dengan berbagai pajak dan kesulitan birokrasi, hingga orang miskin yang harus sulit mendapatkan LPG.

Semua komunitas masyarakat harus bersatu menyelesaikan masalah yang kompleks ini dengan visi yang sama. Jika gerakan perubahan di tengah masyarakat berbeda visi dan berpecah belah, tentu akan sulit untuk mengubah keadaan. 

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Buku Sistem Ekonomi Islam menekankan pentingnya sistem ekonomi Islam untuk mewujudkan ekonomi yang adil dan merata. Berupa jaminan kesejahteraan rakyat melalui kepemilikan umum dan distribusi kekayaan yang adil, serta menjauhkan praktik ekonomi yang mengarah pada konsentrasi kekayaan.

An-Nabhani juga berpandangan bahwa sistem ekonomi Islam merupakan bagian integral dari Islam secara keseluruhan yang tidak dapat dipisahkan dari aspek lain, seperti politik, sosial, dan ideologi. Alhasil, sistem ekonomi Islam hanya bisa diterapkan oleh sistem pemerintahan Islam, yaitu Khilafah.

An-Nabhani juga menjelaskan bahwa kepemilikan umum merupakan sarana untuk menciptakan keadilan ekonomi dalam masyarakat. Kepemilikan umum harus dikelola oleh negara dan dimanfaatkan secara adil dan merata untuk kepentingan seluruh anggota masyarakat tanpa diskriminasi. Islam melarang kepemilikan umum dikelola korporasi atau individu.

Dalam hal ini, Khilafah menerapkan politik ekonomi Islam yang menjamin pemenuhan kebutuhan dasar (asasi/primer) seluruh rakyat secara orang per orang dan menjamin kemampuan rakyat untuk memenuhi kebutuhan pelengkap (kamaliah/tersier) dengan kadar yang makruf. Inilah standar kesejahteraan rakyat dalam Islam.

Abdurrahman al-Maliki dalam buku Politik Ekonomi Islam menyampaikan tentang hak asasi warga negara yang terdiri dari kebutuhan pangan, perumahan, dan pakaian secara individu; maupun hak primer sosial, yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Pada aspek inilah fokus perhatian negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Untuk mewujudkan itu semua, Khilafah akan melakukan industrialisasi agar tercipta kemandirian ekonomi tanpa bergantung pada asing. Mulai dari industri pengelolaan harta milik umum oleh negara, hingga industri yang bisa dikelola swasta dengan mewujudkan iklim investasi yang kondusif dan memudahkan swasta menjalankan operasionalnya. Wujudnya berupa pemberian bantuan modal, pelatihan, tidak adanya pungutan dan pajak yang memberatkan, dan lainnya. Khilafah juga mencegah impor yang berpotensi mematikan industri dalam negeri. Industri dalam negeri pun bisa eksis dan makin maju.

Dengan demikian, industri akan mampu memberi upah yang sesuai bagi para pekerjanya. Di antara pekerja dan pemberi kerja akan dibuat akad saling rida (antaradhin) terkait gaji/upah yang sesuai dengan manfaat yang diberikan pekerja. Ahirnya, terwujudlah keadilan dalam pengupahan dan tidak ada pihak yang terzalimi. Ini sebagaimana hadis riwayat ‘Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.”

Gaji pekerja ini tidak akan tergerus inflasi karena Khilafah menerapkan sistem ekonomi Islam yang mewujudkan stabilitas ekonomi dan sistem mata uang dinar-dirham yang nilainya stabil. Gaji pekerja juga tidak akan tergerus biaya pendidikan dan kesehatan karena dua hal tersebut dijamin oleh negara, yakni disediakan oleh negara secara gratis. Kebutuhan vital (transportasi, telekomunikasi, air, BBM, energi, dsb.) juga akan disediakan dengan biaya murah sehingga terjangkau oleh seluruh rakyat, termasuk para pekerja.

Negara bahkan menjamin setiap lelaki dewasa untuk memiliki pekerjaan. Tersedianya lapangan pekerjaan ini merupakan hasil industrialisasi yang dilakukan negara. Selain itu, negara juga merevitalisasi pertanian, peternakan, perkebunan, dan perikanan secara modern sehingga akan membuka banyak lapangan pekerjaan.

Demikianlah jaminan Khilafah terhadap kesejahteraan rakyat. Dengan jaminan ini, rakyat bisa bekerja dengan tenang dan mendapatkan gaji yang adil. Selanjutnya, rakyat bisa memperoleh kesejahteraan yang diharapkan.

Warga negara Khilafah tidak butuh kerja di negara asing. Bahkan sebaliknya, warga negara asinglah yang tertarik untuk pindah ke Khilafah sebagaimana yang diungkap fakta sejarah. Apalagi Khilafah menjamin tidak ada paksaan bagi mereka untuk masuk Islam selama mereka mau tunduk dengan hukum negara.

Bagi orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya pasti meyakini risalah Rasulullah Saw. adalah petunjuk bagi kehidupan manusia. Termasuk risalah dakwah Rasul dalam mentransformasi masyarakat jahiliah menjadi peradaban agung bagi dunia. Alhasil, mengikuti gerakan politik Rasul adalah pilihan logis dan seharusnya dilakukan generasi hari ini.

Kondisi kecewa dengan sistem bernegara yang terjadi pada generasi saat ini hingga muncul #KaburAjaDulu, sama halnya dengan yang terjadi pada masa Rasulullah Saw. Beliau kecewa dengan kehidupan jahiliah dan kezaliman di Makkah yang membuat beliau beruzlah di Gua Hira, sampai akhirnya datang wahyu pertama sekaligus sebagai awal gerakan mewujudkan kehidupan yang penuh petunjuk dari Allah Al-Khaliq Al-Mudabbir. Sampai dikatakan ini merupakan risalah yang membawa umat manusia dari kegelapan menuju cahaya. Hal ini tercatat dengan tinta emas dalam sirah Rasul dan sejarah Islam.

Transformasi sosial yang diusung Rasulullah Saw. lahir dari pemikiran Islam yang sahih yang ditransfer kepada para sahabat. Proses pembinaan pemikiran mampu mengubah perilaku dan aktivitas untuk mewujudkan target kehidupan berkah dan cemerlang. Namun, harus dipahami bahwa modal dasar gerakan transformasi itu adalah keimanan yang kukuh kepada Allah sehingga mampu melahirkan pejuang yang siap berkorban.

Kekuatan kelompok dakwah Rasul bersama para sahabat yang melakukan gerakan politik transformasi di tengah masyarakat Arab jahiliah, seharusnya menjadi tren diskusi di kalangan anak muda, offline maupun online, bukan yang lain. Dengan demikian, kehidupan peradaban Islam yang memberikan keberkahan mampu dicapai pada era generasi hari ini. Harapan untuk kehidupan yang lebih baik bukan hanya menjadi mimpi, tetapi bisa menjadi kenyataan. Tidak hanya untuk kehidupan dunia, tetapi juga kebaikan di akhirat. Langkah awal yang bisa dilakukan adalah dengan mengkaji Islam kaffah bersama kelompok dakwah Islam ideologis untuk kemudian disebarkan kepada yang lainnya. Tanpa nanti tanpa tapi, terus semangat, Allahu Akbar!

Wallahu'alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar