Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Tersangka pelaku pemerkosaan di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung, Jawa Barat, Priguna Anugrah Pratama, terancam hukuman 17 tahun penjara, seperti terungkap dalam pemeriksaan oleh kepolisian, Jumat (11/4/2025). Polisi mempertimbangkan Pasal 64 KUHP sebagai pemberat untuk menjerat dokter residen anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran itu dengan ancaman hukuman penjara maksimal 17 tahun. (Kompas, 15/4/2025).
Sebelumnya, Konsil Kesehatan Indonesia secara resmi mencabut surat tanda registrasi Priguna. Hal ini sekaligus mencabut izin praktik kedokteran dari pelaku sehingga dilarang untuk berpraktik seumur hidup. Pencabutan surat tanda registrasi itu tertulis dalam Keputusan Ketua Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) Nomor KI.01.02/KKI/0932/2025 tentang Pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR). Dalam keputusan itu disebutkan sanksi pencabutan STR diberikan kepada Priguna karena melanggar Ketentuan dalam Pasal 219 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan terkait kewajiban tenaga medis dan tenaga kesehatan yang sedang menjalani pendidikan.
Saat dihubungi pada Sabtu (12/4/2025), Ketua KKI Arianti Anaya menuturkan, pencabutan STR ini memjadi langkah tegas KKI setelah kepolisian menetapkan Priguna Anugerah sebagai tersangka kasus kekerasan seksual di RSHS. Pencabutan STR ini diikuti pencabutan Surat Izin Praktik (SIP) dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. Pencabutan STR dan SIP merupakan sanksi administratif tertinggi dalam profesi kedokteran di Indonesia.
Selain itu, Arianti menyatakan, Kementerian Kesehatan meminta RSHS agar menghentikan sementara PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif di RSUP Hasan Sadikin. Selama proses pendidikan dihentikan, pihak RS diminta mengevaluasi menyeluruh sistem tata kelola dan pengawasan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di RSHS.
”Evaluasi yang dilakukan diharapkan mampu menghasilkan sistem pengawasan yang lebih ketat, transparan, dan responsif terhadap potensi pelanggaran hukum maupun etika oleh peserta PPDS,” katanya. (Kompas, 12/4/2025).
Sementara itu, Polda Jabar telah menahan Priguna sejak 23 Maret 2025. Polisi menyatakan, Priguna diduga melakukan pemeriksaan tanpa pengawasan hingga berujung pemerkosaan terhadap tiga korban di salah satu ruangan Gedung Pusat Pelayanan Ibu dan Anak RSHS. Astaghfirullah!
Ini semakin menegaskan bahwa kepandaian intelektual tidak menjamin kebaikan moral apalagi Keshalihan seseorang. Demi memuaskan nafsu sesat dan sesaat, seseorang rela kehilangan masa depan. Bukankah meraih gelar dokter adalah cita-citanya? Bukankah membuka praktek kesehatan/pengobatan adalah sebuah kebanggaan? Yang dengan itu semua diharapkan akan mampu membangun rumah tangga yang bahagia bersama anak dan istri? Tapi sekarang semua hilang tak lama berselang dari hilangnya harapan dan cita-cita para korban.
Dan tidak dapat dipungkiri, di sini, di negeri tercinta Indonesia, kasus seperti itu bukan yang pertama meskipun dengan pelaku dan korban yang berbeda atau tempat dan waktu kejadian yang tak sama. Jelas ini sudah bukan kesalahan individu. Ini adalah kesalahan sistemik.
Sistem sekuler yang menjauhkan agama dari kehidupan telah membentuk manusia-manusia amoral dan nirempati. Agama tidak lagi menjadi pedoman dalam hidup bermasyarakat sehingga mudah bagi siapa pun untuk melakukan kekerasan atau pelecehan seksual.
Mandulnya peran negara dalam mencegah kekerasan seksual di lingkungan pendidikan dan kesehatan mengindikasikan bahwa masalah ini tidak bisa dilihat satu aspek, tetapi menyeluruh. Sistem pendidikan salah arah, sistem sosial lemah, peran negara kalah, regulasi payah, dan sistem sanksi yang masih membuat resah karena hukuman tidak berefek jera bagi pelaku kejahatan. Akibatnya, pelaku kekerasan seksual kian meluas dari berbagai kalangan dengan modus bermacam-macam.
Berbeda dengan sistem Islam. Sistem Islam memiliki seperangkat aturan dalam melakukan pencegahan dan penindakan untuk berbagai kasus kejahatan, termasuk kekerasan seksual. Secara paripurna, sistem Islam mengatur interaksi sosial dan pergaulan pada setiap level komunitas masyarakat. Untuk membentuk ketakwaan individual serta komunal, negara menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Islam memiliki langkah pencegahan dan penanganan berupa sistem sanksi yang berefek jera menutup celah terulangnya kasus serupa.
Pada aspek pencegahan, Islam membangun tata pergaulan sosial berdasarkan fitrah manusia. Sejatinya, Allah SWT. menciptakan naluri seksual pada pria dan wanita bukan untuk diumbar sembarangan dan dipenuhi secara liar, tetapi diatur berdasarkan ketetapan syariat Islam. Islam telah mengatur sistem pergaulan yang berkenaan dengan hubungan pria dan wanita. Merujuk kitab An-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam yang ditulis oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah hlm.39, ketentuan tersebut di antaranya sebagai berikut:
Pertama, Islam memerintahkan kepada manusia, baik pria maupun wanita, untuk menundukkan pandangan. Allah SWT. berfirman, “Katakanlah kepada pria yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.‘ Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya.…‘” (QS. An-Nur: 30-31).
Kedua, Islam memerintahkan kepada kaum wanita untuk mengenakan pakaian yang menutupi auratnya, yaitu seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, yakni mengenakan jilbab (gamis) (lihat QS. Al-Ahzab: 59) dan khimar (lihat QS. An-Nuur: 31).
Ketiga, melarang seorang wanita melakukan safar (perjalanan) dari suatu tempat ke tempat lain selama perjalanan sehari semalam, kecuali jika disertai dengan mahramnya. Keempat, larangan bagi pria dan wanita untuk berkhalwat (berdua-duaan), kecuali jika wanita itu disertai mahramnya. Kelima, melarang wanita untuk keluar dari rumahnya kecuali seizin suaminya karena suami memiliki hak atas istrinya.
Keenam, Islam sangat menjaga agar dalam kehidupan khusus komunitas wanita terpisah dari komunitas pria; begitu juga di dalam masjid, sekolah, dan sebagainya. Artinya, Islam telah menetapkan bahwa wanita hendaknya hidup di tengah-tengah kaum wanita, sedangkan seorang pria hendaknya hidup di tengah-tengah kaum pria.
Ketujuh, Islam sangat menjaga agar hubungan kerja sama antara pria dan wanita bersifat umum dalam urusan-urusan muamalah, bukan hubungan yang bersifat khusus seperti saling mengunjungi antara wanita dengan pria yang bukan mahramnya atau keluar bersama untuk berdarmawisata. Ini karena kerja sama di antara keduanya bertujuan agar wanita mendapatkan apa yang menjadi hak-haknya dan kemaslahatannya, di samping agar mereka melaksanakan apa yang menjadi kewajiban-kewajibannya. Dengan hukum-hukum ini, Islam dapat menjaga interaksi pria dan wanita sehingga tidak menjadi interaksi yang mengarah pada hubungan lawan jenis atau hubungan yang bersifat seksual.
Di antara langkah preventif lainnya adalah negara melakukan peran dan tugasnya secara nyata, yaitu menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Dengan sistem ini, seluruh perangkat pembelajaran mengacu pada Islam. Dengan begitu, anak-anak memiliki akidah yang kuat, orang tua memiliki pemahaman agama yang baik, dan masyarakat aktif berdakwah dengan saling memberi nasihat.
Negara juga mengoptimalkan fungsi lembaga media dan informasi dengan menyaring konten dan tayangan yang tidak mendukung terciptanya suasana iman dan takwa, baik di lingkungan pendidikan dasar maupun pendidikan tinggi, seperti konten porno, film berbau sekuler liberal, media penyeru kemaksiatan, dan perbuatan apa saja yang mengarah pada pelanggaran terhadap syariat Islam.
Pada aspek penanganan, negara memberlakukan sistem sanksi yang tegas dan berefek jera. K.H. M. Shiddiq al-Jawi menjelaskan, jika seorang wanita menyatakan di hadapan hakim (kadi) bahwa dirinya telah diperkosa oleh seorang pria, sebenarnya dia telah melakukan qadzaf (tuduhan zina) kepada pria itu. Kemungkinan hukum syarak yang diberlakukan oleh hakim dapat berbeda-beda sesuai fakta (manath) yang ada, antara lain adalah sebagai berikut.
Pertama, jika wanita itu mempunyai bukti (al-bayyinah) perkosaan, yaitu kesaksian empat pria muslim, atau jika pria pemerkosa mengakuinya, maka pria itu dijatuhi hukuman zina, yaitu dicambuk 100 kali jika dia bukan muhshan dan dirajam hingga mati jika dia muhshan (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 7 hlm. 358).
Kedua, jika wanita itu tidak mempunyai bukti (al-bayyinah) perkosaan, hukumnya dilihat lebih dahulu. Jika pria yang dituduh memperkosa itu orang baik-baik yang menjaga diri dari zina (al-‘iffah an zina), wanita itu dijatuhi hukuman menuduh zina (hadd al qadzaf), yakni 80 kali cambukan sesuai QS. An-Nur: 4. Adapun jika pria yang dituduh memperkosa itu orang fasik, yakni bukan orang baik-baik yang menjaga diri dari zina, maka wanita itu tidak dapat dijatuhi hukuman menuduh zina (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, Juz 6 hlm. 453; Imam Nawawi, Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, Juz 20 hlm.53; Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 7 hlm. 346).
Demikianlah langkah pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dalam Islam. Sistem pergaulan, pendidikan, dan media massa dalam Islam akan menciptakan lingkungan dan pergaulan yang sehat, aman, dan jauh dari perilaku maksiat sehingga mencegah terjadinya kekerasan seksual. Sedangkan sistem uqubat (sanksi) dalam Islam tidak hanya memberikan hukuman, tetapi juga mencegah kasus serupa berulang terjadi.
Sayangnya saat ini tidak ada satu negara pun yang menerapkan sistem Islam, termasuk Indonesia. Maka menjadi kewajiban kita semua untuk berusaha menegakkannya. Langkah pertama yang harus kita lakukan adalah dengan mengkaji Islam kaffah bersama kelompok dakwah Islam ideologis dan mendakwahkannya di tengah-tengah masyarakat.
Wallahu'alam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar