Eksploitasi Hutan, Negara Wajib Bersifat Tegas


Oleh : Intan Marfuah (Aktivis Muslimah)

Melansir dari laman LAYARETAM.COM, di balik hiruk-pikuk kecaman terhadap aktivitas tambang ilegal yang menyerobot kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Universitas Mulawarman, tersimpan satu desakan yang tak boleh diabaikan: pemulihan lingkungan yang nyata dan berkelanjutan.

Anggota Komisi II DPRD Kota Samarinda, H. Victor Yuan, menegaskan bahwa proses penghijauan harus menjadi prioritas, seiring dengan upaya hukum terhadap pelaku perusakan. Bersama Ketua Komisi II, Iswandi, ia telah meninjau langsung titik-titik kerusakan hutan yang kini tak lagi lebat—tertoreh oleh jejak ekskavator dan aktivitas tambang tanpa izin.

“Kami menyaksikan sendiri dampaknya. Ini bukan sekadar isu, tapi kerusakan nyata. Dan tak cukup hanya dengan mengecam. Langkah perbaikan harus segera dirancang, dan dimulai dari penghijauan,” kata Victor Yuan dalam wawancara di lokasi, Rabu (09/04/2025).

Victor menyebut, kawasan KHDTK Unmul bukan hanya hutan biasa. Ia adalah ruang hidup ekosistem, ruang belajar mahasiswa, dan ruang konservasi negara. Karena itu, hilangnya satu pohon, baginya, berarti hilangnya bagian penting dari pengetahuan dan masa depan.

Keresahan juga datang dari masyarakat adat. Sekretaris Umum Dewan Adat Dayak Kalimantan Timur (DAD Kaltim), Hendrik Tandoh, yang ikut dalam tinjauan lapangan, mengungkap bahwa penebangan ilegal telah menyasar pohon-pohon langka, termasuk kayu ulin yang dilindungi negara.

“Saya melihat sendiri, ada ulin yang ditebang. Ini bukan hanya ilegal, tapi menyentuh batas-batas kehormatan kita terhadap alam,” ujarnya lirih.

Ia menduga aktivitas penebangan ini telah berlangsung lama tanpa pengawasan yang memadai. Hendrik berharap pengelola kawasan KHDTK lebih aktif melindungi pohon-pohon yang tersisa agar tidak punah akibat kerakusan oknum-oknum penambang. (Layaretam.com,10-April-2024)

Lahan sawit dan pertambangan dimiliki oleh rakyat dan perusahaan, tetapi mayoritas dikuasai oleh para cukong (korporasi). Hal ini menegaskan kalahnya negara di hadapan korporasi. Padahal, pemerintah sangat bisa untuk menindak tegas para “maling” tersebut dan memberi sanksi yang menjerakan.

Namun, nyatanya deforestasi terus terjadi secara masif. Artinya, terjadi pembiaran dan tidak ada tindakan tegas.

Selama ini, deforestasi mendapatkan “pemakluman” dari pemerintah, alasannya adalah untuk pembangunan. Namun, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh KLHK, izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) lebih banyak digunakan untuk tambang dibandingkan dengan pembangunan (nontambang).

Nyatanya, lahan hasil deforestasi tersebut mayoritas dikuasai oleh korporasi. Berdasarkan data Walhi, sebanyak 62 persen lahan hutan di Indonesia sudah dikonsesi untuk korporasi.

Padahal, akibat deforestasi oleh korporasi, hutan kita mengalami kerusakan yang parah. Kekayaan alam yang seharusnya milik umum dikuasai oleh segelintir korporasi, sementara rakyat tetap dikungkung nestapa kemiskinan. Selain itu, keanekaragaman hayati terancam, kerusakan lingkungan pun demikian parah hingga terjadi banjir, longsor, dan bencana alam lainnya.

Pangkal persoalan kerusakan hutan adalah keserakahan sistem kapitalisme. Demi keuntungan materi, produksi sawit digenjot tanpa batas hingga “memakan” kawasan hutan. Demi mengeksploitasi kekayaan alam berupa tambang, hutan pun dikeruk habis-habisan.

Sebenarnya, tidak masalah menanam sawit dan melakukan penambangan, tetapi jumlahnya harus dibatasi sesuai dengan daya dukung alam. Ketika alam dieksploitasi melebihi daya dukungnya, kerusakan pun terjadi. Sementara untuk memperbaikinya bukanlah perkara mudah karena untuk menumbuhkan pohon hingga besar butuh waktu bertahun-tahun.

Agar kerusakan hutan tidak terjadi, langkah penting yang butuh kita lakukan adalah menghentikan penerapan sistem kapitalisme yang serakah. Sistem inilah yang menjadi biang kerok kerusakan hutan secara masif.

Sayangnya, sistem ini mendapatkan dukungan dari penguasa. Terjadi kongkalikong antara korporasi dan penguasa sehingga izin untuk menguasai hutan terus diberikan pada swasta, padahal hutan termasuk kepemilikan umum. Belum lagi pembiaran terhadap alih fungsi lahan secara ilegal.

Apalagi pemerintah telah mengesahkan UU Cipta Kerja yang pasal-pasalnya memberikan ruang bagi deforestasi dan degradasi hutan, yaitu dihilangkannya kewajiban mempertahankan kawasan hutan minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai. Selain itu, UU Ciptaker telah membolehkan badan usaha untuk mendapatkan izin berusaha pada kawasan hutan lindung.

Demikianlah, pemerintah telah abai dalam menjaga hutan yang menjadi amanah kekuasaan mereka. Sebaliknya, penguasa justru menyerahkan hutan beserta kekayaan di dalamnya pada korporasi kapitalis. Sistem kapitalisme yang melindungi korporasi perusak hutan ini harus segera ditinggalkan.

Selanjutnya adalah mengelola hutan sesuai syariat Islam. Di antaranya:

1. Mengembalikan posisi hutan sesuai posisi kepemilikannya. Khilafah akan memetakan hutan yang terkategori kepemilikan umum, yaitu hutan produksi yang bisa dimanfaatkan untuk pembangunan dan ekonomi. Tentu dengan selalu memperhatikan kelestarian alam. Yang juga termasuk kepemilikan umum adalah hutan wisata.

2. Sementara hutan lindung dan suaka alam termasuk kepemilikan negara yang terlarang bagi siapa pun untuk mengambil manfaat darinya. Justru, Negara Khilafah akan melakukan upaya-upaya untuk melindungi tumbuhan, hewan, sumber air, dan ekosistem yang ada sehingga lestari.

3. Penambangan, baik oleh negara maupun rakyat, harus memperhatikan kelestarian lingkungan, bukan hanya optimalisasi produksi.

4. Pengawasan yang serius terhadap kawasan hutan. Khilafah akan mendayagunakan semua sumber daya untuk pengawasan hutan, termasuk mengerahkan alat-alat yang canggih untuk mendeteksi pembalakan liar, pembakaran hutan, dan berbagai kegiatan ilegal lainnya. Polisi hutan akan direkrut dalam jumlah yang mencukupi, fasilitas yang memadai, dan kesejahteraan yang layak sehingga bisa berfungsi optimal.

5. Menghukum pelaku kejahatan terkait hutan, baik pelaku pembalakan liar, pembakar hutan, pemburu satwa dilindungi, penadah, dan lain-lain. Termasuk menghukum aparat negara yang melakukan kongkalikong dengan para pelaku tindakan kriminal tersebut.

Allah Swt. menganugerahkan alam yang luar biasa kaya bagi rakyat Indonesia. Hal ini harus disyukur, caranya adalah dengan mengelola alam sesuai dengan syariat. QS ar-Rum: 41 jelas melarang kita merusak alam. Rasulullah saw. juga melarang menebang pohon tanpa alasan yang dibenarkan. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang memotong pohon bidara, Allah akan hadapkan wajahnya ke neraka.”

Sebaliknya, Islam memerintahkan menanam pohon, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Siapa yang menegakkan/menanam satu pohon, lalu ia sabar menjaga dan merawatnya sampai berbuah, maka semua yang mendapat manfaat seperti dari buahnya, menjadi sedekah baginya di sisi Allah.” (HR Imam Ahmad)

Demikianlah, kita butuh negara Khilafah yang serius menjaga dan melindungi hutan. Bukan negara ala kapitalisme yang mengabaikan kelestarian hutan dan justru kongkalikong dengan para perusaknya. Wallahualam.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar