Kuota Impor Dihapus, Asa Massa Kian Pupus


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

Emang ya gak bisa dipercaya, kemarin ngomong A sekarang B. Masih terngiang janjinya akan menghentikan kran impor demi mensejahterakan rakyat dalam mensukseskan UMKM untuk menggenjot pemasukan negara. Tapi kini, seolah lupa atau pura-pura lupa atau memang tak merasa pernah mengatakan itu, sehingga dengan entengnya mengubah haluan kebijakan 180°. Bukannya menghapus kran impor sebagai realisasi dari janjinya tapi malah menghapus kuota impor. Astaghfirullah!

Pemerintah berencana akan menghapus kuota impor, terutama untuk komoditas yang berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak. Usulan tersebut disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto dalam acara “Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden RI” di Menara Mandiri, Jakarta, Selasa (8-4-2025). Ia menilai bahwa dengan penghapusan kuota impor, birokrasi importasi yang selama ini menyulitkan dunia usaha dapat terkikis. 

Katanya sih kebijakan ini juga diharapkan dapat memberi keuntungan dan kesempatan lebih banyak untuk masyarakat, tidak hanya beberapa perusahaan yang ditunjuk sebagai importir oleh pemerintah yang tentu kesempatannya jauh lebih banyak lagi.

Agar lebih meyakinkan rakyat, Wamentan Sudaryono menyatakan bahwa rencana Presiden untuk menghapus sistem kuota impor itu bertujuan mencegah monopoli dan tidak akan mengancam keberlangsungan industri pertanian nasional secara keseluruhan. Benarkah?

Untuk jangka pendek, konsumen kelas menengah ke bawah mungkin akan menikmati harga murah. Namun kondisi itu akan berubah menjadi malapetaka tatkala harga impor melonjak akibat krisis global. Sedangkan produksi lokal sudah terlanjur mati. 

Dalam jangka panjang, penghapusan kuota impor juga akan memperlemah pondasi pangan dan energi nasional. Gak ada lagi tuh UMKM milik pemodal kecil. Ketergantungan terhadap barang asing pun makin tinggi. Ujungnya, cita-cita besar untuk berswasembada hanya sebatas cita-cita tanpa realita. Swasembada pangan bukan hanya soal ketersediaan stok, tetapi juga kemampuan bangsa untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri tanpa ketergantungan berlebihan pada negara-negara lain.

Tengok saja kasus impor beras saat panen raya yang dilakukan oleh pemerintah di awal April 2024 lalu. Saat kuota impor masih berlaku saja petani lokal sering menjadi korban, apalagi jika kuota itu dihapus. Juga kasus impor gula kristal mentah pada tahun yang sama. Pemerintah ternyata sangat mudah menyetujui impor gula tanpa rapat koordinasi antarkementerian maupun rekomendasi. Terlebih saat Indonesia sedang surplus gula, ini tentu menyebabkan kerugian negara hingga ratusan miliar rupiah.

Paham sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan membuat para pejabat tidak takut dosa. Semua dilakukan demi secuil kepentingan materi di dunia. Belum lagi soal pihak yang diberi hak melakukan impor. Bisa dipastikan hanya perusahaan dengan modal besar yang bisa menjadi importir.

Faktanya, sistem ekonomi kapitalisme memang meniscayakan terjadinya kesenjangan. Para pemilik modal besar diberi keleluasaan untuk mengembangkan harta dengan kemudahan akses dan dukungan birokrasi, sedangkan pengusaha kecil dipandang sebelah mata. Jelas sudah, kebijakan penghapusan kuota impor ini diberlakukan demi kepentingan para kapitalis besar.

Berbeda dengan sistem Islam. Sebagai pedoman hidup yang sempurna, Islam memiliki aturan tentang impor yang termasuk ke dalam aktivitas perdagangan luar negeri ini. Di dalam kitab Nizhamu al-Iqtishadiyi fii al-Islam, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah menjelaskan bahwa perdagangan luar negeri adalah aktivitas jual beli yang berlangsung antarbangsa dan umat, bukan antar individu dari satu negara. Hal itu termasuk dalam masalah pengendalian hubungan negara satu dengan negara lainnya. Dalam hal ini negara akan campur tangan secara mutlak untuk mengendalikannya.

Islam tidak hanya membolehkan aktivitas perdagangan luar negeri bagi negara, tetapi juga bagi warga negara, baik muslim maupun ahlu dzimmah (warga negara nonmuslim). Terkait jenis komoditas yang boleh diimpor, hal tersebut mengikuti hukum kebolehan jual beli yang bersifat umum. Seorang muslim maupun suatu negara boleh memasukkan suatu komoditas ke dalam negerinya, apa pun bentuk komoditasnya asalkan barang tersebut memang termasuk yang dibolehkan Allah SWT. untuk dimiliki.

Meski Islam membolehkan impor, negara tidak boleh melakukannya tanpa batasan. Selain harus terikat dengan hukum-hukum seputar perdagangan secara umum, ada beberapa hal lain yang juga harus diperhatikan. Kedaulatan syarak dan kemandirian ekonomi harus menjadi pertimbangan utama.

Apa pun alasannya, negara tidak boleh mengimpor barang dari negara kafir harbi fi’lan (negara kafir yang secara nyata memerangi kaum muslim) karena satu-satunya interaksi yang harus dibangun dengan mereka adalah perang. Namun, negara boleh melakukan impor dari negara kafir muahid (pihak yang terikat perjanjian dengan Khilafah), selama tidak ada syarat yang bertentangan dengan syariat.

Impor dilakukan dengan memperhatikan aspek kemandirian pangan secara mutlak. Khilafah tidak boleh mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang akhirnya membuat ketergantungan sehingga negara kafir mudah menguasai negara Islam. Sebaliknya, Khilafah harus menerapkan politik ekonomi Islam secara kaffah demi mencapai kemandirian dan kedaulatan ekonomi.

Haram bagi Khilafah bergantung pada asing sebagaimana yang telah dikabarkan Allah SWT. dalam QS. An-Nisa ayat 141:
ٱلَّذِيْنَ يَتَرَ بَّصُوْنَ بِكُمْ ۚ فَاِ نْ كَا نَ لَـكُمْ فَتْحٌ مِّنَ اللّٰهِ قَا لُـوْۤا اَلَمْ نَـكُنْ مَّعَكُمْ ۖ وَاِ نْ كَا نَ لِلْكٰفِرِيْنَ نَصِيْبٌ ۙ قَا لُـوْۤا اَلَمْ نَسْتَحْوِذْ عَلَيْكُمْ وَنَمْنَعْكُمْ مِّنَ الْمُؤْمِنِيْنَ ۗ فَا للّٰهُ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۗ وَلَنْ يَّجْعَلَ اللّٰهُ لِلْكٰفِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلًا
"(yaitu) orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu. Apabila kamu mendapat kemenangan dari Allah mereka berkata, "Bukankah kami (turut berperang) bersama kamu?" Dan jika orang kafir mendapat bagian, mereka berkata, "Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang mukmin?" Maka Allah akan memberi putusan di antara kamu pada hari Kiamat. Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang beriman."

Negara wajib hadir sebagai penanggung jawab dan penjamin pemenuhan kebutuhan pokok tiap individu rakyatnya. Pengelolaan seluruh sektor industri, pertanian, dan pangan dilaksanakan sesuai panduan syariat. Pemberian modal usaha, aneka pelatihan kerja, kebijakan intensifikasi pertanian, dan penyediaan infrastuktur menjadi fokus pemerintah untuk meningkatkan hasil produksi agar mampu memenuhi seluruh kebutuhan dalam negeri.

Negara juga akan mewujudkan suasana yang kondusif dengan menjamin stabilitas harga, menghilangkan penyebab distorsi pasar (penimbunan, penipuan, kecurangan, dan lainnya), serta menegakkan sanksi bagi pelaku kejahatan sehingga gairah produksi para pengusaha dan petani tetap terjaga. Dalam sistem pendidikan, negara akan mendorong, memfasilitasi, serta mengembangkan riset terkait pertanian, pangan, dan industri. Semuanya dilakukan dengan mewujudkan kedaulatan hukum syarak, kemaslahatan umat, dan kemandirian ekonomi.

Demikianlah sistem Islam mengatur semua urusan kehidupan termasuk impor. Hanya dengan penerapan sistem Islam secara kaffah, negeri ini bisa selamat dari kebijakan bunuh diri ekonomi, bahkan swasembada pangan bukan lagi khayalan. Pertanyaannya, sudah siapkah mengganti sistem kapitalisme yang sudah terbukti kebobrokannya dan segera menggantinya dengan sistem Islam yang sudah terbukti selama 13 abad mensejahterakan tiga perempat dunia dengan limpahan rahmat-Nya?

Wallahu'alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar