Oleh: Noura
“Laut adalah hidup kami.” Kalimat ini mungkin terdengar sederhana, tapi bagi para nelayan Muara Badak, Bontang Lestari, hingga Santan Ilir, itu bukan sekadar metafora. Itu kenyataan. Ketika laut tercemar, bukan hanya ikan yang mati. Harapan pun ikut tenggelam.
Sudah setahun air laut tak lagi bersahabat. Warnanya berubah, ikannya enggan mendekat. Tapi baru kali ini, saat ratusan ikan mati mengambang, suara nelayan terdengar. Sayangnya, bukan untuk didengar utuh, melainkan untuk dimediasi.
Polres Bontang turun tangan memediasi dugaan pencemaran lingkungan oleh PT Energi Unggul Persada (EUP) di pesisir Bontang Lestari dan Santan Ilir, Marangkayu.
Perwakilan nelayan dari Muara Badak, Nina, menyebut pencemaran sudah terjadi setahun terakhir. Tapi baru sekarang dampaknya masif—ikan mati dalam jumlah besar.
Lalu apa kata perusahaan? PT EUP membantah. Katanya bukan limbah mereka. Bisa jadi arus, oksigen, atau—bahkan lebih absurd lagi—sabotase.
Siapa yang hidup setiap hari di laut? Siapa yang lebih tahu kapan air berubah, ikan menghilang, dan hasil tangkapan menipis? Nelayan tentu bukan ahli forensik limbah, tapi mereka tahu lautnya sedang sakit. Dan mereka tahu siapa yang dulu datang, membangun, dan membawa dampak.
Keadilan yang Tak Ramah Pada Rakyat Kecil
Kita semua tahu, dalam banyak kasus, rakyat kecil sering kalah suara. Saat berhadapan dengan korporasi besar, keadilan seolah punya harga. Mediasi seringkali hanya jadi formalitas. Bahkan jika pun ada ganti rugi, bisakah itu menebus hilangnya kepercayaan rakyat?
Pertanyaan besarnya adalah, apakah mediasi akan menghasilkan keadilan? Atau hanya akan jadi panggung kompromi antara yang kuat dan yang lemah?
Karena ini bukan sekadar tentang ikan yang mati. Ini tentang sumber hidup yang dirusak. Tentang kepercayaan yang runtuh. Dan tentang negara yang, sekali lagi, terlihat lambat mendengar jeritan rakyatnya.
Kalau pencemaran sudah berlangsung selama itu, mengapa baru sekarang ditangani? Mengapa menunggu korban dalam jumlah besar dulu baru bergerak? Bukankah ini bentuk pembiaran?
Islam Punya Jawaban Tegas
Islam tidak memisahkan antara lingkungan dan keadilan. Ketika ada kerusakan di bumi, Islam memandangnya sebagai bentuk kezaliman yang harus dihentikan. Allah SWT berfirman: "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS. Ar-Rum: 41)
Ayat ini bukan sekadar peringatan. Ini teguran. Bahwa tangan manusia—ya, termasuk korporasi—bisa mencemari laut dan membunuh kehidupan di dalamnya.
Dalam sistem Islam, negara wajib hadir bukan sebagai juru runding semata, tapi sebagai pelindung hak rakyat dan penjaga amanah alam. Rasulullah saw. bersabda: "Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air, dan api." (HR. Abu Dawud)
Ada kebijakan industri yang mengacu pada visi negara, yaitu dakwah dan jihad. Industri berat dan tambang akan dimiliki dan dikuasai negara, swasta tidak akan diberi hak mengelolanya. Dalam penerapannya, negara akan menyesuaikan dengan lingkungan.
Laut, sungai, dan sumber daya alam adalah milik bersama. Bukan komoditas yang bisa dirusak oleh siapa saja demi keuntungan. Maka ketika nelayan dirugikan, negara harus berpihak. Bukan malah lambat menanggapi atau bersembunyi di balik prosedur.
Jika pengelolaan lingkungan sesuai syariat Islam, kasus seperti ini tak akan berlarut. Negara hadir sebagai pelindung rakyat, bukan penonton dari kejauhan. Ketika terjadi dugaan pencemaran, negara wajib memeriksa, menindak, dan melindungi. Tidak ada kompromi pada pencemaran. Tidak ada kelonggaran bagi korporasi.
Wallahu'alam.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar