Mengapa Pelecehan Seksual di Dunia Pendidikan Terus Berulang?


Oleh: Arina Sayyidatus Syahidah (Penulis & Aktivis Dakwah)

Sekularisme Akar dari Berulangnya Kejahatan Seksual dalam Pendidikan

Dunia pendidikan kembali digemparkan oleh dua kasus pelecehan seksual yang melibatkan oknum guru. Di Sikka, Nusa Tenggara Timur, seorang guru SD berinisial KAR (42) dilaporkan mencabuli delapan siswinya dengan dalih ancaman pengurangan nilai. Para korban sempat bungkam karena takut, hingga akhirnya saling bercerita dan kasus ini dilaporkan ke pihak kepolisian. Di Jakarta Barat, lebih dari 40 siswi menjadi korban dugaan pelecehan oleh seorang guru SMK. Pola pelecehan seperti memegang pundak, elusan dipinggul, hingga salaman yang tidak wajar menunjukkan bahwa peristiwa ini bukan sekadar insiden sesaat, tapi telah berlangsung lama tanpa ada tindakan pencegahan yang berarti.

Berulangnya kasus-kasus seperti ini menunjukkan bahwa akar masalahnya bukan hanya pada individu pelaku, tetapi pada sistem yang menaungi dunia pendidikan saat ini. Sistem pendidikan sekuler, yang memisahkan agama dari kehidupan, melahirkan insan-insan yang jauh dari nilai ketakwaan. Dalam sistem ini, peran guru tidak dibentuk untuk menjadi qudwah (teladan) dalam akhlak Islam, tetapi lebih pada pengajar akademik. Maka tak heran, banyak guru yang hanya cerdas secara intelektual, namun hampa dalam ruhiyah. Akibatnya, mereka mudah terjerumus dalam perbuatan maksiat, termasuk pelecehan terhadap anak didiknya sendiri.

Sistem demokrasi sekuler juga membuka ruang kebebasan berpikir dan bertindak yang nyaris tanpa batas. Asas kebebasan ini membuat masyarakat terbiasa menilai segala hal berdasarkan logika semata, bukan syariat. Bahkan perzinaan pun dianggap sah selama dilakukan atas dasar suka sama suka. Negara pun tidak hadir dengan ketegasan yang berbasis hukum syariat, melainkan hanya mengandalkan aturan buatan manusia yang sering kali lemah dan mudah diperjualbelikan. Meskipun ada berbagai undang-undang seperti UU TPKS dan Permendikbud, kenyataannya tidak mampu menghentikan derasnya arus kerusakan ini.

Disisi lain, media juga turut menyumbang kerusakan melalui tayangan-tayangan penuh pornografi dan nilai liberal. Konten-konten semacam ini bisa dengan mudah diakses oleh siapapun, bahkan oleh anak-anak. Ketika penguasa tidak menjalankan perannya sebagai penjaga moral umat, dan justru tunduk pada kepentingan materi, maka kehancuran generasi hanyalah soal waktu. Inilah buah pahit dari sistem sekuler kapitalisme: mencetak manusia-manusia yang kosong dari iman, dan menciptakan lingkungan yang jauh dari keberkahan. Maka, selama sistem ini terus dipertahankan, kasus-kasus semacam ini akan terus berulang dan semakin sulit diberantas.


Sistem Islam Menutup Celah Pelecehan Seksual dari Akarnya

Melihat akar persoalan pelecehan seksual yang terus berulang di lingkungan pendidikan, tak bisa disangkal bahwa kerusakan ini lahir dari diterapkannya sistem sekuler yang menjauhkan agama dari kehidupan. Selama sistem pendidikan, sistem pergaulan, dan sistem hukum masih berpijak pada demokrasi sekuler, maka permasalahan ini hanya akan terus berulang dan tak pernah benar-benar selesai. Maka sudah saatnya kita menoleh pada Islam—bukan sekadar sebagai ajaran spiritual, tapi sebagai sistem hidup yang memiliki solusi menyeluruh dan tuntas.

Islam bukan hanya agama yang mengatur urusan ibadah ritual semata, tetapi juga hadir dengan sistem kehidupan yang sempurna, termasuk dalam menangani persoalan pelecehan seksual. Untuk mencegah terjadinya kejahatan semacam ini, Islam menetapkan mekanisme yang menyeluruh, mulai dari sistem pendidikan, sistem pergaulan, hingga sistem sanksi. Dalam sistem pendidikan Islam, tujuan utamanya bukan sekadar mencetak individu cerdas secara intelektual, melainkan membentuk kepribadian Islam yang kokoh. Anak-anak dididik sejak dini dengan akidah Islam, dibiasakan untuk mengenal halal dan haram, serta diberikan keteladanan akhlak yang mulia oleh guru-gurunya.

Islam juga menetapkan aturan pergaulan yang jelas antara laki-laki dan perempuan. Interaksi dibatasi sesuai dengan syariat, dengan menjaga pandangan, menutup aurat, dan menghindari ikhtilat (campur baur bebas). Hal ini menjadi pagar pertama yang sangat kuat agar tidak muncul peluang terjadinya pelecehan. Selain itu, penguasa dalam sistem Islam harus memiliki kontrol penuh terhadap media yang disajikan kepada masyarakat, diharamkan untuk menampilkan konten yang merusak akhlak dan merangsang hawa nafsu, seperti pornografi atau tayangan vulgar yang hari ini justru marak. Dalam Islam, media berfungsi sebagai alat edukasi yang membentuk masyarakat bertakwa, bukan sekadar sarana hiburan yang bebas nilai.

Di samping pencegahan, Islam juga memiliki sistem sanksi (uqubat) yang tegas dan menjerakan bagi pelaku pelecehan atau kekerasan seksual. Dalam sistem pemerintahan Islam, pelecehan seksual dianggap sebagai kejahatan serius yang merusak kehormatan individu dan tatanan sosial. Sanksi bagi pelaku pelecehan seksual sangat tegas, bergantung pada tingkat pelanggarannya. Untuk perzinaan paksa (pemerkosaan), pelaku akan dikenakan hukuman had, yaitu rajam bagi yang sudah menikah dan cambuk 100 kali bagi yang belum menikah, sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. An-Nur ayat 2. Sementara itu, pelecehan seksual seperti meraba atau ucapan cabul juga dikenakan sanksi ta’zir, yang bisa berupa cambuk, penjara, atau pengasingan. Sanksi dijatuhkan sesuai dengan jenis pelanggarannya, dengan tujuan memberikan efek jera, menjaga masyarakat dari kejahatan serupa, dan sebagai bentuk keadilan bagi korban.

Namun, semua mekanisme ini tidak akan berjalan efektif jika hanya dilakukan secara parsial. Diperlukan penerapan sistem Islam secara menyeluruh dalam kehidupan, yang tidak hanya menuntut ketakwaan individu, tetapi juga adanya kontrol sosial dari masyarakat serta peran negara sebagai pelaksana hukum syariat. Inilah langkah konkret yang ditawarkan Islam untuk menyelesaikan problem pelecehan seksual secara tuntas—bukan hanya mengobati dampak, tapi menutup seluruh celah penyebabnya dari akarnya.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar