Oleh : vieDihardjo (Alumnus Hubungan Internasional)
Sosial media masih diramaikan oleh peristiwa laut yang dipagari, masih misterius siapa yang memiliki memasang pagar, hingga membiayai. Hingga presiden memerintahkan mencabuti pagar tersebut belum ada satu pihakpun yang mengaku bertanggungjawab ihwal pagar makan lautan ini. Pagar laut di Tangerang membentang dari desa Muncung hingga desa Pakuhaji, melintasi 6 kecamatan sepanjang 30,16 km menggunakan batang bambu dengan panjang bambu rata-rata 6 meter. Terjadi polemik di masyarakat dan media sosial, karena isu pagar makan lautan ini tetiba meledak dan viral saat ini meskipun jelas aktivitas memagar itu tidak mungkin dilakukan dalam satu malam. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten Eli Susiyanti mengatakan klaim pagar bambu sepanjang 30,16 kilometer yang terbentang di laut pantai utara Kabupaten Tangerang untuk cegah abrasi, perlu dibuktikan. Senada dengan DKP Propinsi Banten, Ombudsman menyatakan bahwa Munculnya kelompok nelayan dari Pantai utara (pantura) yang menyatakan bambu-bambu iu adalah inisiatif nelayan untuk mencegah abrasi adalah argumen yang tidak berdasar.
Justru yang mengemuka adalah dampak yang dirasakan oleh para nelayan dengan adanya pagar bambu yang membentang di lautan itu. Ombudsman Propinsi Banten, Fadli Afriadi mennyatakan sebanyak 3.888 nelayan Banten harus mengeluarkan dua kali ongkos operasional ketikan berlayar mencaari ikan, sementara hasil tangkapan ikan justru menurun (www.republika.co.id). Fadli mengungkap, kerugian yang dialami nelayan mencapai 9 miliar dengan penurunan penghasilan rata-rata setiap hari sebesar Rp. 100.000. "Asumsinya 1.500 nelayan melaut selama 20 hari dikali sekian bulan, tiga bulan saja, sudah Rp 9 miliar. Ini paling rendah taksiran ekonominya, apalagi 3.888 nelayan," (www.republika.co.id). Adanya pagar bambu di laut membuat jalur menuju laut dua kali lebih jauh yang mengakibatkan solar yang dibutuhkan uga lebih banyak.
Ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menyatakan, diprediksii kerugian akibat pagar laut illegal tembus 116,91 milliar. Kerugian tersebut mencakup penurunan pendapatan nelayan sebesar 93.31 milliar, pertahun, peningkatan biaya operasional sebesar 18,60 milliar pertahun, kerusakan ekosistem lau sebesar 5 milliar pertahun. Data ini diambil dari data Ombudsman RI dan analisis ekologis independen. Dengan asumsi penurunan pendapatan nelayan seebesar 100.000 perhari, maka jika waktu melaut adalah 20 hari dalam sebilan maka potensi kerugian yang terjadi mencapai 7,776 milliar perbulan menjadi 93,31 pertahun. Sementara rute melaut yang lebih jauh dan konsumsi bahan bakar yang lebih banyak akibat pagar laut menyebabkan kerugian mencapai 1,55 milliar perbulan menjadi 18,60 milliar pertahun. Adanya pagar laut ternyata menghambat aktivitas nelayan dan masyarakat pesisir dalam mencari nafkah.
Dari sisi ekosistem, struktur bambu dan pemberat pasir yang digunakan justru mengganggu habitat ikan, kerrang dan udang. Manfaat yang diklaim seperti mitigasi abrasi dan tsunami dan budidaya kerrang hijau justru tidak dapat dibuktikan. Analisis biaya dan manfaat (cost-benefit analysis) menunjukkan ketimpangan, alih-alih memberi manfaat besar pada masyarakat dan lingkungan pesisir, pagar laut illegal justru menambah tekanan dan masalah.
Jika laut dikelola secara kapitalistik
Laut dipagari adalah buah pengelolaan sumberdaya alam secara kapitalistik. Bahkan bisa muncul hak pengelolaan oleh sekelompok orang yang dilegalisasi oleh negara melalui badan yang ditugaskan menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan dan sub urusan tata ruang yang merupakan lingkup urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum. Dalam pemikiran kapitalistik laut adalah peluang untuk dieksploitasi agar dapat mendatangkan keuntungan meskipun menciderai ekosistem dan kehidupan pesisir. Menurut Food And Agriculture Organization (FAO) (2020) sebesar 90% aktivitas perikanan dunia dilakukan oleh nelayan kecil atau tradisional. Di Indonesia, para nelayan berkontribusi besar pada ketahanan pangan dan ekonomi lokal. Pagar laut justru membuat nelayan menjadi terpinggirkan dan dirugikan. Meski diklaim pagar laut itu untuk mencegah abrasi juga reklamasi bahkan terakhir diklaim bahwa lokasi tersebut dulunya adalah empang, namun pada praktiknya, ada dugaan kuat aktivitas pagar itu berhubungan dengan pembangunan infrastruktur pembagunan elit, kawasan industri hingga fasilitas komersial.
Pagar laut telah memberi dampak merugikan pada ekosistem pesisir, seperti mangrove dan padang lamun (ekosistem khas di laut dangkal pada wilayah perairan hangat dengan dasar pasir dan didominasi oleh tumbuhan lamun, berada pada bagian perairan laut yang dangkal (kurang dari tiga meter) namun dasarnya tidak pernah terbuka dari perairan (selalu tergenang). Padang lamun juga dapat dilihat sebagai ekosistem antara ekosistem bakau dan ekosistem terumbu karang . Lamun adalah sumber pakan utama hewan duyung), yang berfungsi sebagai habitat ikan dan pelindung alami dari abrasi. Akibatnya, nelayan kecil tidak hanya kehilangan akses ruang tangkap tetapi juga menghadapi penurunan stok ikan yang berkelanjutan.
Menurut Harvey (2005) pagar laut menunjukkan bagaimana kapitalisme ruang telah mereduksi laut menjadi objek eksploitasi ekonomi, di mana nilai ekologis dan sosialnya diabaikan demi kepentingan ekonomi jangka pendek. Mencabuti pagar laut yang telah ditanam tidak akan menyelesaikan persoalan yang telah diakibatkannya. Pengelolaan laut membutuhkan satu sistem yang tidak hanya fokus pada eksploitasi tetapi memeihara kelestarian laut dan kekayaan yang ada didalamnya.
Sistem Islam memanfaatkan dan melestarikan sumberdaya laut
Didalam sistem islam, aset atau sumberdaya dikelompokkan dalam 3 golongan kepemilikan yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Kepemilikan individu adalah izin Asy-Syar’I (Allah) kepada individu untuk memanfaatkan barang dan jasa dan memilikinya dengan sebab-sebab yang diperbolehkan oleh Asy-syar’i (Allah). Kepemilikan umum adalah izin Asy-syar’i (Allah) kepada masyarakat secara bersama-sama memanfaatkan barang dan jasa. Kepemilikan negara adalah izin dari Asy-Syari’ atas setiap harta yang hak pemanfaatannya berada di tangan Negara seperti harta ghanimah, fa’i, khumus, kharaj, jizyah 1/5 harta rikaz, ’ushr, harta orang murtad, harta orang yang tidak memiliki ahli waris, dan tanah hak milik negara.
Laut termasuk kedalam kepemilikan umum sehingga tidak bisa dikuasai dan dimiliki oleh perseorangan atau sekelompok orang, sehingga pagar laut telah melanggar kepemilikan umum. Dari sisi pengelolaaan kepemilikan umum dikelola oleh negara, dari sisi pemanfaatan, bisa dimanfaatkan oleh masyarakat umum. Masyarakat umum boleh secara bersama-sama mengelola dan memanfaatkan kepemilikan umum, jika pemanfaatan tersebut tidak memerlukan biaya operasional yang tinggi, seperti eksplorasi dan eksploitasi. MIsalnya, nelayan bisa dengan mudah mencari dan memanfaatkan hasil laut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, jika pemanfaatannya berbiaya tinggi, misal pengeboran minyak lepas pantai, dikelola dan dibiayai oleh negara. Hasilnya diberikan kepada rakyat dengan murah atau dengan cuma-cuma.
Pemanfaatan akan selalu terkait dengan kepemilikan. Seseorang tidak diperbolehkan memanfaatkan sesuatu yang bukan miliknya. Laut adalah milik umum, maka negara tidak boleh menjual atau memberikan hak pengelolaan pada individua atau sekelompok individu. Pagar laut terjadi karena negara memberi hak pada individua atau sekelompok individu.
Pagar laut tidak mungkin terjadi ketika negara dikelola dengan menerapkan islam kaffah yang secara tegas mengatur tentang kepemilikan dan pemanfaatan dari kepemilikan tersebut. Ketegasan soal kepemilikan dalam sistem islam akan menutup ruang para pemilik modal (oligarki) untuk merampas laut dan memagarinya, namun tidak mengkin diterapkan dalam sistem rusak bernama kapitalistik yang menggunakan cara demokrasi yang membuka peluang bagi para oligarkh membeli para penguasa dan mengontrol kebijakan-kebijakan dengan kekuatan uangnya. Tidak ada jalan lain selain kembali kepada aturan-aturan yang datang Dzat yang Maha Mengatur (Al Mudabbir) secara kaffah (menyeluruh). Penerapan aturan islam secara kaffah (menyeluruh) dilakukan melalui tegaknya institusi bernama Khilafah’ala minhajin nubuwwah. Intitusi ini akan membuat politik ekonomi islam yang akan membuat kebijakan-kebijakan yang melahirkan kebaikan-kebaikan bagi rakyat.
Wallahu’alam bisshowab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar