Paylater dan Konsumerisme, Hidup jadi Semrawut


Oleh: Ai Sopiah 

Dikabarkan utang PayLater orang Indonesia tembus Rp 21,98 triliun. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, per Ferbuarari 2025 total utang masyarakat Indonesia lewat layanan Buy Now Pay Later (BNPL) atau yang lebih akrab disebut PayLater di sektor perbankan menyentuh angka Rp 21,98 triliun.

Meski angka ini sedikit turun dari posisi Januari 2025 yang berada di Rp 22,57 triliun, secara tahunan justru terlihat kenaikan yang cukup signifikan, yakni sebesar 36,60 persen.

“Februari 2025 baki debet kredit BNPL sebagaimana dilaporkan dalam SLIK, tumbuh sebesar 36,60 persen yoy menjadi Rp 21,98 triiun” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae dalam konferensi pers Hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan, secara virtual, Jumat (11/4/2025).

Dari sisi jumlah pengguna, BNPL perbankan mencatatkan 23,66 juta rekening aktif di bulan Februari. Ini sedikit menurun dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 24,44 juta pengguna. Meski begitu, porsi kredit BNPL terhadap keseluruhan kredit perbankan tetap kecil, yakni sekitar 0,25 persen.

Tak hanya BNPL, kredit perbankan secara keseluruhan juga mencatat pertumbuhan positif. Total kredit yang disalurkan mencapai Rp 7.825 triliun atau naik 10,30 persen dibandingkan Februari tahun lalu. Kredit investasi menjadi motor penggerak utama dengan pertumbuhan 14,62 persen, disusul kredit konsumsi yang naik 10,31 persen, dan kredit modal kerja yang tumbuh 7,66 persen.

Di sisi lain, Dana Pihak Ketiga (DPK) yang menjadi sumber dana utama bank juga menunjukkan tren yang sehat. DPK tumbuh 5,75 persen secara tahunan menjadi Rp 8.926 triliun.

Terkait likuiditas, kondisi perbankan tetap stabil. Rasio alat likuid terhadap simpanan non-inti (AL/NCD) mencapai 116,76 persen, sementara rasio alat likuid terhadap DPK (AL/DPK) berada di level 26,35 persen.

Daya beli masyarakat di berbagai daerah di Indonesia termasuk DKI Jakarta menurun, ada banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Di antaranya adalah maraknya PHK, naiknya harga-harga, beban utang yang meningkat dan lain-lain. Selain itu juga pengaruh dari lesunya ekonomi secara global.

Pinjaman paylater juga disebut pinjaman cicilan Point Of Sale (POS). Himpitan ekonomi membuat masyarakat memutar otak untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, tidak sedikit yang berutang dengan memanfaatkan Paylater (pembayaran nanti) dalam belanjanya. Apalagi belanja saat ini bisa dilakukan secara online hingga paylater dianggap memudahkan. 

Kita tidak memungkiri bahwa paylater memberikan fasilitas mudah untuk berbelanja secara daring, terlebih pada era digital. Namun sayang, dampak paylater tidaklah seindah kemudahan yang diberikan. Pasalnya, cepat atau lambat paylater justru bisa berdampak ibarat besar pasak daripada tiang bagi ekonomi rumah tangga.

Di sisi lain, penerapan sistem kapitalisme mengakibatkan besarnya arus budaya konsumerisme, dan kebahagiaan diukur dengan standar materi. Adanya Paylater makin mendorong arus konsumerisme. 

Paylater yang marak saat ini berbasis ribawi, yang haram dalam pandangan Islam, alih-alih Paylater ini menjadi solusi, Paylater justru berpotensi menambah beban masalah masyarakat, dan menambah dosa, yang akan menjauhkan keberkahan. Ternyata haram hukumnya berbelanja dengan fitur aplikasi tersebut dengan tiga alasan sebagai berikut.

Pertama, terdapat unsur riba dalam bentuk bunga sebesar 2,95%. Tiap tambahan dari pinjaman yang disepakati di awal (saat akad), statusnya adalah riba yang hukumnya haram. Dalam masalah ini, Imam Ibnu Qudamah berkata, “Setiap pinjaman (qardh) yang mensyaratkan adanya tambahan padanya maka tambahan itu adalah riba tanpa perbedaan pendapat (di kalangan ulama).” (Ibnu Qudamah, Al-Mughnî, Juz IV, hlm. 360).

Kedua, terdapat unsur riba dalam bentuk denda 5% dari total tagihan jika terjadi keterlambatan pembayaran. Denda ini merupakan riba karena tiap tambahan dari pinjaman yang sudah disepakati di awal dihukumi sebagai riba, baik tambahan itu berupa bunga maupun denda. (Abdullah al-Mushlih & Shalah ash-Shawi, Mâ Lâ Yasa’u at-Tâjir Jahluhu, hlm. 338; Ali as-Salus, Mausû’ah al-Qadhâyâ al-Fiqhiyyah al-Mu’âshirah wa al-Iqtishâdi al-Islâmî, hlm. 449).

Ketiga, terdapat kekeliruan cara penetapan biaya penanganan (admin) sebesar 1% per transaksi. Biaya penanganan ini seharusnya berupa nominal yang tepat (misalnya Rp10.000 per transaksi) bukan berupa persentase dari nilai transaksi. Akad penanganan ini sebenarnya akad ijarah yang cara penetapan ujrah (upah)-nya wajib berupa jumlah nominal yang jelas (ma’lûm), bukan berupa persentase tertentu dari nilai transaksi. (Taqiyuddin An Nabhani, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islam, hlm. 90).

Sistem Islam akan menutup celah budaya konsumerisme, karena ada pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Masyarakat akan terbentuk ketakwaannya sehingga standar bahagia pun bukan dari sisi materi tapi karena mendapatkan ridho Allah SWT.

Seorang muslim semestinya mengaitkan setiap aktivitasnya dengan tujuan hidup di dunia, yakni dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Ini sebagaimana firman Allah,
ÙˆَÙ…َا Ø®َÙ„َÙ‚ْتُ الْجِÙ†َّ ÙˆَالْاِÙ†ْسَ اِÙ„َّا Ù„ِÙŠَعْبُدُÙˆْÙ†ِ
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat : 56). 

Maka dari itu setiap muslim harus berusaha untuk terus melakukan perbuatan yang bernilai ibadah bukan sebaliknya. Begitupun negara harus selalu serta mengurusi rakyat yang dipimpinnya untuk menjaga dari hal kerusakan.

Islam mewajibkan negara untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya, termasuk menjamin kecukupan harta maupun pendapatannya sehingga pembiayaan dan pengelolaan ekonomi rumah tangga mereka tidak berbasis utang. Jika ada seorang muslim sampai berutang, itu semata dalam keadaan terpaksa, bukan karena terbiasa. Islam sendiri memiliki mekanisme untuk membantunya terlepas dari utang itu, di antaranya dengan memasukkannya ke dalam kategori penerima zakat, yaitu gharim.

Negara Islam (Khilafah) masih memiliki banyak mekanisme lain untuk menyejahterakan warganya. Khilafah menjamin harta yang beredar adalah harta yang halal dan berkah. Jaminan kebutuhan dan kesejahteraan yang diberikan oleh negara itu pun mencapai level individu per individu.

Di antara mekanisme penyejahteraan yang diupayakan Khilafah adalah penyediaan lapangan kerja bagi seluruh kaum laki-laki selaku para pencari nafkah bagi keluarga yang ditanggungnya. Dari pekerjaan itu, kaum laki-laki tidak harus memiliki pekerjaan sampingan sebagai tambahan sumber penghasilan karena kebutuhan pokok publik (kesehatan, pendidikan, transportasi, dan keamanan) disediakan secara gratis oleh negara.

Tingkat kesejahteraan ekonomi yang layak ini akan menunjang berkurangnya angka kriminalitas serta memudahkan bagi warga untuk meninggalkan keharaman. Dengan begitu, rakyat tidak akan sempat berpikir perihal pelanggaran hukum syariat, sebaliknya rakyat justru sibuk dengan ketaatan. Di samping itu, negara juga berperan aktif membangun kesadaran untuk taat syariat di kalangan warganya, termasuk menyuburkan sikap untuk senantiasa mensyukuri nikmat Allah dan kanaah dengan harta yang sudah dimiliki.

Pada saat yang sama, negara berperan menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam yang akan melahirkan generasi unggul, berkualitas, berkepribadian Islam, serta berilmu pengetahuan yang tinggi sehingga mereka memiliki motivasi yang besar untuk senantiasa meninggalkan keharaman.

Tidak hanya itu, negara juga akan menutup berbagai celah masuknya pemikiran asing seperti sikap materialistis, konsumerisme, hedonisme, serta seluruh turunan sekularisme lainnya di berbagai sarana dan media. Negara akan memberantas tuntas semua aplikasi maupun berbagai layanan digital yang mengantarkan kepada keharaman. Jika sampai terjadi pelanggaran, negara menerapkan sistem sanksi yang tegas, mampu membuat jera pelakunya, dan membuat orang lain enggan melakukannya.

Demikianlah jika aturan yang kita pakai adalah aturan yang berasal dari Islam kesejahteraan, keberkahan, dan ridho Allah akan kita dapati, maka marilah kita bersama mengkaji Islam secara Kaffah untuk berjuang menegakkan kehidupan dengan aturan Islam.

Wallahua'lam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar