Pembangunan Infrastruktur yang Berdampak Banjir


Oleh: Ai Sopiah 

Pemerintah Kabupaten Sumedang melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mengambil langkah permanen untuk mengatasi banjir lumpur yang kerap terjadi di kawasan proyek pembangunan Jalan Lingkar (Jaling) Utara Jatigede, tepatnya di Kecamatan Cisitu.

Kepala Pelaksana BPBD Sumedang, Atang Sutarno, mengungkapkan bahwa banjir lumpur kembali terjadi di Dusun Bakom RT 02 dan RT 03 RW 09, Desa Linggajaya, Kecamatan Cisitu pada Kamis, 3 April 2025 sekitar pukul 18.30 WIB.

Setelah menerima laporan, BPBD Sumedang langsung turun ke lokasi untuk memberikan bantuan logistik dan melakukan pembersihan lumpur yang masih berlangsung hingga saat ini.

“Hingga Jumat (4/4/2025), sejumlah rumah warga masih terdampak lumpur. Warga yang terdampak untuk sementara mengungsi ke rumah kerabat yang tidak terkena banjir,” tambahnya.

Atang juga mengimbau masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan menghadapi cuaca ekstrem, mengingat saat ini sudah memasuki musim penghujan disertai angin kencang dan cuaca yang tidak menentu.

“Jika terjadi kejadian serupa atau bencana lainnya, masyarakat dapat menghubungi layanan BPBD Kabupaten Sumedang di nomor 0811-2065-733,” ujarnya.

Sementara itu, Bupati Sumedang Dony Ahmad Munir menyatakan bahwa pihaknya telah merencanakan penanganan permanen terhadap persoalan ini.

Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat, Herman Suryatman, juga menyampaikan permohonan maaf kepada pengguna jalan provinsi di wilayah Pasiringkik yang terdampak banjir lumpur, terutama saat hujan deras.

Menurut Herman, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi telah memerintahkan Dinas Bina Marga Provinsi untuk bekerja sama dengan Dinas PUTR Kabupaten Sumedang serta berkoordinasi langsung dengan Bupati Sumedang.

“Penyebab banjir di Pasiringkik ada dua: pertama karena buruknya sistem drainase, dan kedua akibat mobilitas tanah disposal dari proyek Jaling Utara,” ungkap Herman.

Untuk solusi jangka pendek, drainase langsung diperbaiki dan diperlebar, sementara tanah disposal sementara akan dibuang ke lahan milik desa untuk mengurangi lalu lintas alat berat.

“Untuk jangka menengah, insya Allah dalam APBD Perubahan 2025 telah dialokasikan anggaran untuk perbaikan drainase sepanjang 800 meter dan jalan sepanjang 2,4 kilometer. Pemprov Jabar siap mengeksekusi secepat mungkin karena kami selalu hadir untuk masyarakat,” ujar Herman, menutup pernyataannya.(RADARSUMEDANG, 6/4/2025).

Menurut BPBD, berdasarkan hasil asesmen banjir lumpur disebabkan oleh jebolnya tanggul penahan tanah disposal proyek Jaling Utara Jatigede setelah hujan deras mengguyur wilayah tersebut, dan berdampak kepada warga yang tinggal disana. Akibatnya, sekitar 22 rumah atau 23 kepala keluarga terdampak. 

Demikianlah penyelesaian banjir dalam sistem kapitalisme yang rusak, dengan adanya proyek jalan Lingkar Utara sebagai solusi jalur ke lokasi wisata Jatigede, tetapi dengan adanya solusi tersebut tanpa memperhatikan dampak yang akan terjadi. 

Berbeda dengan sistem Islam. Jika kita melihat penyelesaian banjir dalam masa Khilafah dilakukan secara sistemis, yaitu dengan menerapkan sistem Islam Kaffah. Hal itu berawal dari visi negara sebagai pengelola bumi Allah sehingga tidak akan pernah membuat aturan dan kebijakan yang merusak bumi. Ini sebagaimana firman Allah SWT.,
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.'” (QS. Al-Baqarah : 30).

Juga firman-Nya, 
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا
“Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik.” (QS. Al-A’raf : 56). 

Ketika saat ini terjadi bencana yang demikian hebatnya, patut disadari bahwa itu merupakan kerusakan yang disebabkan manusia tidak mau menjalankan syariat Allah SWT. sebagaimana firman-Nya, 
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum : 41).

Khilafah akan melakukan mitigasi bencana banjir sebelum (pencegahan) dan sesudah terjadi bencana. Untuk mencegah banjir, Khilafah akan menjalankan politik pembangunan dan tata kota yang memperhatikan pelestarian lingkungan. Daerah resapan air akan dijaga dan dilindungi sehingga fungsinya terjaga secara optimal. Khilafah akan melarang penggunaan daerah resapan air untuk permukiman, tempat wisata, maupun yang lainnya. Alih fungsi hutan akan dilakukan dengan cara saksama berdasarkan perhitungan para ahli sehingga tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.

Khilafah juga melakukan pengawasan terhadap keoptimalan fungsi bendungan, sungai, saluran air, dan sarana lain yang merupakan jalur lewatnya air. Selain menempatkan petugas pemantau, Khilafah juga akan menggunakan kamera pengawas yang melaporkan perkembangan ketinggian air secara real-time.

Jika ketinggian air perlu diwaspadai, masyarakat akan diberikan informasi. Negara juga segera melakukan langkah-langkah untuk mengalirkan air ke lokasi yang memungkinkan, sekaligus bersiap-siap mengungsikan warga ke tempat aman jika kondisi makin buruk.

Jika terjadi sedimentasi sungai, negara akan melakukan pengerukan. Jika banyak eceng gondok maupun sampah yang menyumbat saluran, akan dibersihkan. Daerah yang gundul akan ditanami kembali dengan pepohonan yang akarnya efektif menahan air.

Negara akan mengedukasi masyarakat untuk turut bertanggung jawab terhadap lingkungan, misalnya dengan tidak membuang sampah di sungai dan saluran air. Hal yang sama akan dilakukan pada perusahaan-perusahaan. Jika ada yang melanggar, sanksi tegas dan menjerakan akan diterapkan.

Negara akan menjaga daerah sempadan sungai agar tidak digunakan untuk permukiman, perdagangan, pabrik, maupun aktivitas lainnya. Praktik ini disebut hima (proteksi). Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak ada hima kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Abu Dawud). Ibnu Umar ra. berkata, “Rasulullah Saw. telah memproteksi (daerah) An-Naqi’, yaitu suatu tempat yang sudah dikenal di Madinah, khusus untuk unta-unta kaum muslim.” (Abu ‘Ubaid, Al-Amwal).

Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah dalam buku Sistem Keuangan Negara Khilafah (Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah) hlm. 101 menyampaikan bahwa negara boleh menguasai harta milik umum yang diperlukan untuk jihad dan segala hal yang berhubungan dengan jihad, serta untuk kemaslahatan kaum muslim sesuai keperluannya. Dengan demikian, negara akan memproteksi daerah sempadan sungai agar tidak digunakan untuk aktivitas apa pun sehingga fungsinya terjaga.

Negara Khilafah akan menyejahterakan penduduknya dengan mencukupi kebutuhan perumahan sehingga tidak ada lagi orang-orang yang tinggal di pinggiran sungai. Negara juga akan mencetak para pejabat yang amanah sehingga tidak akan memperjualbelikan izin pembangunan yang merusak lingkungan.

Jika setelah upaya pencegahan dilakukan maksimal ternyata tetap terjadi banjir, negara akan segera mengevakuasi warga dengan kekuatan optimal dan melibatkan seluruh komponen. Sebelumnya, masyarakat akan mendapatkan edukasi untuk menghadapi bencana dengan tetap mengutamakan keselamatan. Selanjutnya warga akan ditempatkan di pengungsian yang layak dan negara mencukupi kebutuhan mereka yang meliputi makanan, minuman, obat-obatan, keperluan ibadah, kebersihan, pendidikan, kesehatan, keamanan, transportasi untuk pulang ke rumah, dan lainnya.

Jika terjadi kerusakan infrastruktur, negara akan memperbaiki dan membangunnya kembali dengan dana dari baitulmal. Di dalam baitulmal ada anggaran untuk bencana. Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah dalam buku Sistem Keuangan Negara Khilafah (Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah) hlm. 166 menjelaskan, pembiayaan untuk keadaan darurat (bencana), seperti tanah longsor, gempa bumi, dan angin topan harus tetap dilakukan walaupun peristiwanya tidak ada. Hal ini bahkan termasuk pembiayaan yang bersifat tetap, harus dipenuhi baik ada uang/harta maupun tidak ada di baitulmal.

Apabila di baitulmal ada uang maka harus segera dialokasikan untuk bencana tersebut. Jika di baitulmal tidak ada uang, kaum muslim wajib membiayainya dan harus segera dikumpulkan (pajak/dharibah) dari mereka tanpa ada paksaan. Jika timbul kekhawatiran bahaya terus berlangsung, negara boleh meminjam (berutang) untuk mencukupi pembiayaan bencana alam ini. Pinjaman (nonribawi) tersebut dilunasi dari harta kaum muslim yang dikumpulkan.

Jadi negara bisa memungut pajak (dharibah) untuk keperluan ini. Namun pajak itu hanya dipungut temporer dan sebatas besaran kebutuhan untuk bencana saja. Pajak tersebut juga dipungut hanya dari laki-laki muslim yang kaya.

Negara juga mendorong kaum Muslim untuk membantu warga yang menjadi korban bencana dengan memberikan sedekah. Tidak lupa, khalifah akan mengajak warganya untuk bertobat, mohon ampun, dan berdoa kepada Allah SWT. agar bencana tersebut lekas selesai.

Khilafah sudah terbukti mampu mengatasi berbagai bencana sepanjang masa kekuasaannya. Tata kota pada masa Abbasiyah di Bagdad dan Utsmaniyah di Turki telah menunjukkan kemampuan Khilafah dalam mengatasi bencana, termasuk banjir. Selain aspek tata kota, Khilafah juga gencar melakukan penelitian dan pengembangan terhadap alat dan teknologi untuk mengatasi banjir. Upaya ini dibiayai negara dari baitulmal sehingga bisa berjalan secara berkelanjutan.

Wallahua'lam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar