Oleh : Diana Kamila (Mahasiswa STEI Hamfara)
Sejak diumunkannya gencatan senjata Israel-Palestina yang mulai berlaku pada 19 Januari 2025, euforia kemenangan dan rasa syukur mulai berdatangan dari seluruh penjuru dunia. Mereka mengira dengan adanya perjanjian gencatan senjata, nasib dan mimpi buruk warga Palestina telah sirna. Postingan, konten serta berita tentang saudara Palestina kini mulai lenyap dari media sosial. Seakan hal itu hanya menjadi tren belaka. Dan kini mereka mulai lupa dan bosan dengan pemberitaan yang tak kunjung berakhir.
Lain halnya dengan keadaan yang sedang terjadi. Gencatan senjata tak hayal hanyalah janji damai yang mustahil terwujud. Dikutip dari laman Erakini.id, UNICEF mengatakan sedikitnya 322 anak dilaporkan tewas sejak Israel memperbarui serangannya pada 18 Maret 2025, menghancurkan gencatan senjata dua bulan yang telah diberlakukan. Puluhan ribu anak Palestina telah kehilangan orang tua mereka, menjadi yatim piatu. Jumlah korban tewas akibat genosida Israel di jalur Gaza telah meningkat menjadi 50.532 orang, dengan 114.776 lainnya terluka sejak 7 Oktober 2023.
Kebiadaban yang dilakukan oleh zionis telah mencapai tingkat yang tiada tara. Dalam konflik yang berkepanjangan di Gaza, puluhan ribuan anak menjadi korban genosida yang brutal. Menambah kepedihan yang mendalam dalam sejarah kemanusiaan. Kejamnya situasi ini berlangsung di tengah narasi tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan aturan internasional yang seharusnya melindungi hak-hak anak dan perempuan. Akan tetapi. Kenyataannya, aturan ini tampak hanya omong kosong yang tidak mampu menghentikan, apalagi mencegah penderitaan yang dialami oleh anak-anak Palestina.
Dengan kondisi yang semakin memprihatinkan ini, sangat jelas bahwa umat Islam perlu menyadari bahwa tidak ada harapan yang dapat diandalkan dari lembaga-lembaga internasional. Berbagai perjanjian dan konvensi yang disepakati tidak mampu menghentikan kedzaliman terhadap rakyat Palestina.
Mirisnya, semua itu terjadi di depan mata seluruh penduduk dunia, termasuk kita. Padahal sebagai saudara seiman kita tidak pantas berdiam diri melihat saudara kita hidup menderita sedangkan kita masih berpangku tangan. Ini sejalan dengan sabda Rasulullah yang berbunyi: “Barang siapa yang pada pagi harinya hasrat dunianya lebih besar maka itu tidak ada apa-apanya di sisi Allah, dan barang siapa yang tidak takut kepada Allah maka itu tidak ada apa-apanya di sisi Allah, dan barang siapa yang tidak perhatian dengan urusan kaum muslimin semuanya maka dia bukan golongan mereka” (HR Al-Hakim dan Baihaqi).
Apa yang terjadi di Gaza pada hakikatnya adalah pertaruhan keimanan seluruh kaum muslim. Apakah iman itu kokoh terhujam di dalam dada atau hanya ucapan di bibir. Dan bukan hanya sekedar masalah kemanusiaan.
Tidak bisa dipungkiri, masalah Palestina tidak hanya dapat diselesaikan dengan perjanjian damai, gencatan senjata, solusi dua negara, ataupun solusi yang ditawarkan kebanyakan negara-negara internasional saat ini. Pertolongan hakiki itu tidak lain berupa tentara dan jihad fii sabilillah. Namun itu tidak akan terwujud selama umat tidak tergerak untuk menolong saudara mereka. Selama kepemimpinan ala kapitalisme masih bercokol di tubuh negara-negara muslim maka mustahil pula kemenangan akan datang.
Maka upaya satu-satunya adalah dengan mengembalikan kembali tameng dan perisai umat Islam, berupa sebuah institusi negara di bawah naungan dan landasan syariat dan keimanan. Institusi itu tidak lain adalah Daulah Khilafah ‘ala minhaj nubuwwah. Oleh karena itu, sudah saatnya umat Islam bersatu dalam perjuangan ini.
Wallahu a’lam bissawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar