Revisi UU TNI, Urgensi?


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

Ditengah gencar-gencarnya kebijakan efisiensi anggaran di berbagai bidang, Komisi I DPR RI menggelar rapat Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (RUU TNI) bersama pemerintah di Jakarta pada Jumat (14-3-2025) hingga Sabtu (15-3-2025). Dalam susunan jadwal rapat yang diterima kalangan media, tertera jadwal acara rapat Panja RUU TNI Komisi I DPR RI dengan pemerintah digelar di hotel bintang lima di kawasan Senayan, Jakarta sejak Jumat siang.

Meskipun ditentang rakyat, seperti biasa RUU tetap disahkan menjadi UU termasuk RUU TNI yang telah diketok palu oleh DPR menjadi UU TNI pada 20 Maret 2025. Tujuan revisi UU TNI adalah untuk menyesuaikan peran, fungsi, dan struktur TNI dengan perkembangan zaman. 

Beberapa poin yang menjadi sorotan dalam revisi ini adalah:  
- Peningkatan Peran TNI dalam Sektor Sipil yang memungkinkan lebih banyak jabatan sipil yang bisa diisi oleh perwira aktif, termasuk sektor ekonomi dan pemerintahan.
- Modernisasi Alutsista yang akan memperkuat legalitas pengembangan industri pertahanan dalam negeri.  
- Kewenangan TNI dalam Menangani Ancaman Non-Tradisional, seperti keamanan siber, terorisme, perang asimetris, konflik non-militer, dan bencana alam.  
- Reformasi Internal TNI termasuk reformasi usia pensiun TNI untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan global dan teknologi pertahanan.  

Namun, banyak pihak khawatir bahwa perubahan ini berpotensi mengembalikan dwi fungsi militer sebagaimana pada masa Orde Baru (Orba), dimana TNI tidak hanya bertugas menjaga pertahanan, tetapi juga aktif dalam urusan pemerintahan sipil. Hal ini sering kali menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan dan kurangnya akuntabilitas. Jika revisi ini disahkan, maka ada kekhawatiran bahwa praktik serupa bisa kembali terjadi.

Jika benar terjadi, sia-sia sudah perjuangan pahlawan reformasi ketika itu. Reformasi 1998 yang berhasil menghapus keterlibatan militer dalam jabatan sipil untuk memastikan demokrasi yang lebih sehat dan supremasi sipil atas militer. Tidak hanya itu, reformasi ini pula yang telah menumbangkan penguasa Orba yang telah bercokol selama 32 tahun. Tidakkah revisi ini adalah bukti langkah mundur dari Indonesia?

Bahkan beberapa pengamat menilai bahwa revisi ini dibahas tanpa partisipasi publik yang memadai, sehingga berpotensi menimbulkan aturan yang tidak sejalan dengan aspirasi masyarakat. Beberapa organisasi HAM, termasuk Amnesty International, menilai bahwa revisi ini dapat membuka celah untuk abuse of power, termasuk dalam penanganan isu-isu sipil yang seharusnya berada di bawah yurisdiksi kepolisian atau pemerintah sipil.  

Pengesahan UU TNI juga dinilai sangat terburu-buru dan tertutup pula. Bahkan tak segan ketika ada rakyat sipil yang mencoba menerobos masuk ke dalam ruangan rapat, dilaporkan ke polisi setelah mendapat perlakuan yang tidak baik dari peserta rapat. Tidak cukup sampai di sana, siapa pun yang menolak UU TNI dicap sebagai PKI.

Padahal DPR sejatinya adalah wakil rakyat dan itu berarti orang yang diusir itu adalah atasannya. Jika benar merujuk pada slogan demokrasi kapitalisme "dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat", seharusnya apapun yang dibahas dan diputuskan harus atas pertimbangan demi kesejahteraan rakyat. Dalam sistem demokrasi kapitalisme, DPR memang menjadi pabrik UU, sayangnya UU yang dibuat tidak memihak kepada rakyat yang telah memilihnya, yang telah menitipkan asa dan cita-cita melalui pemilu.

Apalagi saat ini yang menjadi orang nomor satu adalah tentara cetakan Orba bahkan menantu penguasa Orba, maka revisi UU TNI mendadak sangat urgent. Sulit untuk tidak berprasangka bahwa itu semua demi kepentingan sang ajudan yang kini menjadi asisten kabinet (koordinator para menteri) dan TNI lainnya yang telah berjasa menghantarkannya ke tampuk kekuasaan tertinggi.

Lebih wajar lagi karena sistem yang dipakai saat ini adalah sistem kapitalisme yang menjauhkan agama dari kehidupan. Sistem ini pula yang menghasilkan pemimpin populis otoriter terlepas pejabat pemerintahannya hanya dari sipil, anggota parpol penguasa, koalisi, atau militerisme.

Berbeda dengan sistem Islam. Dalam sejarah kekhalifahan Islam, militer memiliki tugas utama dalam pertahanan negara dan ekspansi wilayah Islam. Adapun kepemimpinan Islam, Islam menekankan bahwa kepemimpinan harus dipegang oleh orang yang paling kompeten dan adil. 

Rasulullah Saw. bersabda: "Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya." (HR. Bukhari). Artinya, jabatan publik harus diberikan kepada orang yang memiliki keahlian di bidang tersebut, bukan hanya berdasarkan pada kemampuan seorang politisi atau militer tetapi juga lahir dari keimanan yang kukuh.

Dalam Islam, penguasa bukan pihak pembuat hukum yang bisa dengan seenaknya merevisi hukum seperti penguasa dalam sistem demokrasi kapitalisme saat ini. Penguasa dalam Islam, yakni khalifah hanya menjalankan hukum Allah SWT., dia dibaiat oleh rakyat untuk menjalankan amanah ini.

Dalam Islam, kekuasaan bukanlah sesuatu yang bisa lepas dari pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Politik dalam Islam bermakna ri’ayatusy syu’unil ummah, yakni mengurus urusan umat. Dengan definisi ini, penguasa berperan sebagai pelayan dan pengurus rakyatnya.

Pendidikan Islam mendidik generasi tangguh yang hanya mengharap keridhaan Allah SWT. sehingga akan tertanam dalam dirinya akidah yang benar dan kuat. Hal inilah yang menghasilkan para Mujahidin yang menjadikan jihad sebagai mahkota agama. Tidak hanya ditempa dengan berbagai teori ilmu pengetahuan, melainkan dengan syaqofah Islam yang mumpuni yang langsung diterapkan dalam kehidupan sehingga melahirkan begitu banyak ilmuwan. 

Permainan fisik dan olahraga diarahkan bukan untuk meraih piala kaleng atau medali emas, perunggu, atau perak. Atau juga pujian manusia yang hanya menjadikan jurang nasionalisme semakin dalam sebagaimana dalam sistem kapitalisme. Dalam Islam justru kegiatan seperti itu bertujuan semata-mata menjaga dan bekal diri agar mampu berjihad di jalan Allah SWT.

Dalam Islam, militer boleh menduduki jabatan publik hanya jika mereka memiliki kompetensi di bidang tersebut. Namun, jika keterlibatan militer dalam pemerintahan menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan atau merusak keseimbangan politik, maka itu bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.  

Para tentara militer dijamin semua kebutuhannya juga digaji dengan gaji yang layak sehingga mereka fokus menjalankan tugas tanpa harus berfikir untuk mencari penghasilan tambahan. Bahkan Khalifah memprioritaskan asupan makanan dan minuman bagi mereka agar tercukupi asupan gizi sehingga menghalalkan tenaga yang prima. 

Bahkan dalam Islam diperhatikan juga kebutuhan biologis tentara militer. Oleh sebab itu, bagi yang telah menikah maka ada giliran kapan dia boleh pulang menemui anak dan istrinya. Sedangkan bagi yang belum berkeluarga, maka dimudahkan dalam urusan pernikahannya, mulai dicarikan calon jika dia belum menemukan dan diberikan fasilitas untuk mengadakan resepsi/syukuran termasuk mahar.

Demikianlah sistem Islam mengatur manusia, alam, dan kehidupan dengan begitu sempurna. Indonesia bisa merasakan keindahan dan keadilannya asalkan mau mengganti sistem demokrasi kapitalisme dengan sistem Islam. Langkah awal yang bisa kita lakukan sebagai warga negara Indonesia adalah dengan mengkaji Islam kaffah bersama kelompok dakwah Islam ideologis dan mendakwahkannya di tengah-tengah masyarakat.

Wallahu'alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar