Oleh: Noura
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam. Setelah sebulan penuh ditempa oleh ujian lapar, haus, dan hawa nafsu dalam Ramadan, kini kita memasuki bulan Syawal—bulan kemenangan, bulan yang selalu disambut dengan suka cita oleh umat Islam. Idul Fitri adalah momen yang istimewa. Ia bukan hanya tentang berganti pakaian baru, berkumpul bersama keluarga, atau hidangan lezat di atas meja. Idul Fitri adalah simbol keberhasilan spiritual, saat seorang Muslim kembali dalam fitrahnya, bersih dari dosa, dan siap melangkah dalam kebaikan yang lebih besar.
Namun, di tengah gegap gempita kebahagiaan ini, ada luka yang menganga. Ada duka yang diam-diam mengiris hati umat. Sebab tak semua saudara kita mampu merasakan hangatnya Syawal. Di Palestina, bom masih menggantikan suara takbir. Asap dan api menggantikan kembang api. Tangis anak-anak menggantikan tawa riang Idul Fitri.
Mereka tidak punya pilihan untuk merayakan. Rumah-rumah mereka telah rata dengan tanah. Kuburan massal menggantikan tempat berkumpul. Mereka kehilangan keluarga, kehilangan tanah, kehilangan harapan. Mereka bahkan kehilangan suara dunia yang selama ini mengaku menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Lalu, bagaimana kita bisa benar-benar bersukacita, sementara tubuh umat Islam masih berdarah? Bagaimana kita bisa menyebut ini hari kemenangan, ketika bagian dari tubuh kita sendiri sedang diinjak-injak oleh penjajah yang biadab?
Tragedi Palestina bukan sekadar konflik politik. Ia adalah ujian iman bagi kita semua. Ia menguji kepedulian kita, kesatuan kita, dan terutama, keimanan kita kepada janji Allah. Kita harus jujur bertanya pada diri sendiri: sudahkah kita benar-benar menjadikan penderitaan mereka sebagai penderitaan kita juga? Ataukah kita justru larut dalam kenyamanan semu, seakan luka di Palestina adalah hal biasa?
Rasulullah saw. bersabda: "Perumpamaan kaum Mukminin dalam saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi, seperti satu tubuh. Jika satu bagian tubuh sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan sakitnya dengan berjaga dan demam." (HR. Bukhari dan Muslim)
Lalu, di manakah kita saat tubuh umat sedang digempur? Di mana suara kita saat saudara-saudara kita berteriak minta tolong? Apakah kita akan terus diam, menikmati euforia lebaran, sementara mereka tenggelam dalam darah dan air mata?
Realitas ini tidak akan berubah jika kita terus menaruh harapan pada sistem dunia hari ini—sistem sekuler kapitalisme yang telah nyata-nyata gagal menjaga kemanusiaan. Sistem yang hanya tunduk pada kekuatan para kapitalis. Sistem yang terus membiarkan penjajah berbuat semena-mena, sementara dunia internasional hanya mengutuk dengan kata-kata kosong tanpa tindakan nyata.
Inilah saatnya umat Islam membuka mata, bahwa sistem ini bukanlah tempat berpijak yang benar. Umat harus menyadari bahwa mereka membutuhkan sistem alternatif yang bukan hanya adil, tapi juga berasal dari wahyu. Sistem yang mengikat umat dalam satu kepemimpinan, menjaga darah mereka, melindungi kehormatan mereka, dan menegakkan keadilan sejati. Itulah sistem Islam, dalam naungan Khilafah.
Khilafah bukan sekadar romantisme masa lalu. Ia adalah kewajiban syar’i yang telah lama ditinggalkan. Padahal dalam sejarah, Khilafah adalah perisai umat. Ia tidak pernah tinggal diam saat kaum Muslimin ditindas. Di bawah naungan Khilafah, Palestina pernah bebas. Masjid Al-Aqsa pernah dijaga kehormatannya. Umat Islam disegani, bukan dikasihani.
Hari ini, seruan Khilafah kembali menggema, bukan karena rindu semata, tetapi karena kebutuhan yang mendesak. Semakin hari, umat makin sadar bahwa tidak ada solusi hakiki bagi penderitaan ini kecuali dengan kembalinya sistem Islam secara kaffah. Sistem yang tidak tunduk pada Barat. Sistem yang memprioritaskan keselamatan umat dan penerapan syariat Allah secara menyeluruh.
Tentu, menegakkan Khilafah bukan perkara ringan. Tapi bukan pula mustahil. Ia dimulai dari membangun kesadaran. Mengedukasi umat. Menyebarkan opini. Menerangi pikiran yang gelap akibat sekularisme. Dan semua itu adalah tugas kita hari ini. Gunakan setiap medium yang kita miliki—media sosial, forum diskusi, majelis ilmu, tulisan, bahkan percakapan santai—untuk mengajak umat kembali pada Islam yang kaffah. Ajak mereka melihat penderitaan Palestina bukan hanya sebagai bencana kemanusiaan, tapi sebagai panggilan keimanan.
Firman Allah SWT: "Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa..." (QS. An-Nur: 55)
Syawal ini harus menjadi titik balik. Bukan hanya untuk memperbaiki hubungan antar sesama, tetapi juga memperkuat ikatan dengan perjuangan Islam global. Jadikan Syawal sebagai momen muhasabah umat, momen pernyataan tekad, dan momen memperkuat barisan. Karena tanpa perjuangan, tidak akan ada kemenangan sejati. Tanpa Khilafah, tak akan ada pelindung hakiki bagi umat ini.
Kita tidak bisa terus menunggu. Fajar kemenangan tidak akan menyingsing dengan sendirinya. Ia harus diperjuangkan. Dan perjuangan itu dimulai hari ini, oleh kita semua—dengan segala yang kita punya, dan dengan seluruh keikhlasan kita. Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara." (QS. Al-Hujurat: 10)
Dan jika mereka adalah saudara kita, maka tak ada alasan lagi untuk berdiam diri. Palestina menunggu. Dunia menanti. Umat berharap. Maka mari kita jadikan Syawal ini bukan sekadar perayaan, tapi deklarasi kebangkitan.
#AynalMuslimun
#SavePalestine
#DakwahIslamKaffah
#SyeikhTaqiyuddinAnNabhani
#KhilafahSolusiUma
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar